Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Jumat, 03 Desember 2010

Menggugat Hukum Jahiliyyah Tafsir Q.S. Al-Maidah: 50

Jumat, 03 Desember 2010
oleh: Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I


Apa hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? [QS Al-Maidah: 50]

Sabab Nuzul
Diriwayatkan Ibnu ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu hatim dan al-baihaqi dalam ad-Dalaail yan bersumber dari Ibnu Abbas:

Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya dan Syasy bin Qais berkata, "Pergilah kalian bersama kami menghadap Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkan dari agamanya." Sesampai di tempat Nabi Saw. mereka berkata, "ya Muhammad, sesungguhnya engkau mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta yahudi, orang-orang terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan yang memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, lalu kami akan beriman kepadamu dan membenarkanmu." nabi Saw. menolak keinginan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49 - 50. [1]


Keterkaitan dengan Ayat sebelumnya

Konteks ayat ini masih terkait erat dengan ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt. memerintahkan kepada setiap kaum untuk memutuskan perkara dengan hukum yang telah diturunkan-Nya. bani Israil diperintahkan berhukum dengan Taurat. Dalam ayat 44, disebutkan: yahkumu bihaa al-nabiyyuun al-laziina aslamuu li-ladziina haaduu wa al-rabbaniyyuun wa al-akhbaar (dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, orang-orang alim mereka, dan pendeta-pendeta mereka). Bani Israil, setelah diutusnya Nabi Isa as., diperintahkan berhukum dengan Injil. Dalam ayat 47 dinyatakan: walyahkum ahl al-Injiil bimaa anzalaLlaah (hendaklah pengikut injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya).

Seruan yang sama juga ditujukan kepada RasuluLlah Saw. dan umtnya. Merekadiperintahkan memutuskan perkara dengan al-Quran. Sebagai kitab pamungkas, al-Quran ditetapkan sebagai pembenar (mushaddiq[an]) dan muhaymiin[an] 'alayh (batu ujian atau penghapus berlakunya) kitab-kitab sebelumnya (QS al-Maidah: 48). Dengan demikian, sejak al-Quran diturunkan, seluruh manusia wajib berhukum kepadanya,[2] termasuk kaum yang menjadi pengikut nabi-nabi sebelumnya.[3] Hal ini disebabkan karena syariat nabi Muhammad saw. telah menghapus syariat nabi sebelumnya.[4] Dalam ayat 48 Allah Swt. berfirman: fahkum baynahum bimaa anzalaLlaah (hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan). Jika dirunut ke belakang, dhamir hum (kata ganti mereka) dalam ayat ini merujjuk kepada kaum Yahudi.[5]

Perintah memutuskan perkara dengan hukum Allah itu sampai derajat wajib. dalam ayat-ayat tersebut cukup banyak qarinah/indikator yang menunjukkannya. Di antaranya adalah celaan yang amat keras terhadap orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan-Nya. Mereka disebut kaafiruun (ayat 44), dzaalimuun (ayat 45) dan faasiquun (ayat 47). Tindakan berpaling dari hukum Allah Swt mendapatkan sanksi di dunia[6] berupa ditimpa musibah.

Ayat ini (QS Al-Maidah: 50) juga menjadi qarinah berikutnya. Allah Swt. mencela orang yang menolak untuk mengikuti hukum Alla Swt. dengan menyebut orang yang mencari hukum jahiliyyah. Padahal, tidak satu pun hukum yang dapat mengungguli, menandingi atau bahkan menyamai hukum-Nya.



Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: afahukm al-jaahiliyyah yabghuun (apa hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki?). Kalimat istifham dalam ayat ini bermakna li al-inkaar wa tawbiikh (pengingkaran dan celaan).[7]

Menurut Mujahid,[8] Qatadah,[9] dan beberapa mufassir lainnya, yang menjadi sasaran celaan ayat ini adalah Yahudi.[10] Apabila dikaitkan dengan ayat sebelumnya beserta sabab nuzul-nya maka pendapat tersebut memang tepat. Celaan terhadap kaum yahudi makin menemukan relevansinya mengingat mereka adalah ahlul kitab, yang penentuan halal dan haramnya berasal dari Allah, namunmereka justru berpaling dari hukum-Nya dan lebih memilih hukum jahiliyyah. Padahal, hukum Jahiliyyah itu hanya sekedar memperturutkan hawa nafsu yang mementingkan dan memenangkan kalangan elit mereka. Oleh karena itu, ungkapan ayat ini dinilai sebagai celaan paling keras terhadap mereka.[11]

Kendati demikian, cakupan ayat ini tidak bisa dibatasi hanya untuk kaum Yahudi. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Hasan, ayat ini bersifat umum sehingga berlaku untuk semua orang yang mencari hukum selain hukum Allah Swt.[12]

Pendapat Ibnu Katsir sejalan dengan pendapat tersebut. Menurutnya, dalam ayat ini Allah Swt. mengingkari setiap orang yang keluar dari hukum-Nya yang muhkam, yang mencakup seluruh kebaikan, melarang semua keburukan, dan berpaling dari semua pendapat, kesenangan, dan istilah selainnya yang dibuat oleh seseorang tanpa sandaran syariat-Nya sebagaimana dilakukan kaum jahiliyyah yang hukumnya didasarkan atas kesesatan dan kebodohan. [13]

kata al-jaahiliyyah berasal dari kata al-jahl yang berarti bodoh atau dhid al-'ilmu (lawan dari mengetahui). Akan tetapi, kata tersebut dapat ditransformasikan maknanya sehingga memiliki makna baru yang berbeda dengan makna etimologinya. menurut al-Baidhawi, yang dimaksud al-jaahiliyyah adalah agama jahiliyyah yang memperturutkan hawa nafsu.[14] Kesimpulan tersebut didasarkan pada frasa berikutnya.

Allah Swt. berfirman: waman ahsan minallaah hukm[an] liqawm[in] yuuqinuun hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?).

Jika dalam frasa sebelumnya disebut hukm al-jaahiliyyah maka dalam frasa ini dikomparasikan dengan hukmuLlaah (hukum Allah). Berdasarkan ayat ini, as-Sudi mengklasifikasikan hukum hanya menjadi dua, yaitu hukum Allah dan hukum jahiliyyah.[15] Al-Hasan juga membagi hukum menjadi dua: Pertama: hukum yang didasarkan ilmu, yakni hukum Allah. Kedua: hukum yang didasarkan pada kebodohan, yakni hukum syetan.[16] Selanjutny al-Hasan mengatakan, "Brangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah maka itulah hukum jahiliyah."[17]

Al-Baqai juga menyatakan, "Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah niscaya dia menerima hukum setan yang semata-mata hawa nafsu yang merupakan agama orang jahil yang tidak memiliki kitab, pemberi petunjuk dan syariah."[18]

Sayyid Quthb memberi gambaran lebih gamblang mengenai hukum jahiliyah. Dalam tafsirnya, Fii Zhilaal al-Quraan, dipaparkan: "Sesungguhnya makna jahiliyyah itu didefinisikan oleh nash ini. Jahiliyyah -sebagaimana digambarkan Allah dan didefinisikan al-Quran- adalah hukum manusia untuk manusia. Sebab, jahiliyyah merupakan bentuk penyembahan manusia terhadap manusia lainnya,keluar dari penghambaan Allah, menolak ketuhanan Allah dan memberikan pengakuan -lawan dari penolakan- terhadap ketuhanan sebagian manusia dan penghambaan terhadap mereka selain Allah"[19]

Bertolak dari paparan para mufassir tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum jahiliyyah adalah semua hukum yang tidak berasal dari Allah Swt. kaum beriman tidak selayaknya mengambil dan mengadopsi hukumjahiliyyah tersebut. Sebab, Allah Swt. telah memberikan hukum-Nya yang tidak bisa disamai dan ditandingi oleh hukum selainnya.

Kalimat tanya dalam frasa akhir ayat ini juga bermakna "li al-inkar".[20] Artinya: "Laa ahsana min hukmiLlaah 'inda ahl al-yaqiin" (tidak ada yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang yang yakin).[21] Dengan demikian, ayat ini memberikan makna bahwa sesungguhnya hukum Allah merupakan puncak kebaikan dan keadilan.[22]

Menurut al-Zujjaj, qawm[in] yuuqinuun adalah orang-orang yang yakin terhadap jelasnya keadilan Allah dalam hukum-Nya.[23] Pengertian lebih luas mereka adalah orang yang meyakini semua perkara yang wajib diimani.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)