Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Kamis, 10 November 2011

TOLAK OBAMA TOLAK KAPITALISME TEGAKKAN SYARIAH DAN KHILAFAH

Kamis, 10 November 2011

TOLAK OBAMA
TOLAK KAPITALISME
TEGAKKAN SYARIAH DAN KHILAFAH

Hati-Hati!!! Kedatangan Obama dalam KTT ASEAN ke-19 dan East Asia Summit (EAS) di Bali November 2011 mendatang hanyalah mengokohkan PERAMPOKAN & IMPERIALISME AS di Asia Tenggara. AS memiliki agenda terselubung untuk mendesak negara-negara ASEAN+ (ASEAN plus India, Jepang, Korea Selatan dan Australia) untuk bersatu melawan kekuatan Cina dalam persoalan Laut Cina Selatan. Pada akhirnya AS akan mencengkeram lebih kuat penguasaan SDA (minyak dan gas) serta memperkokoh militernya di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Oleh karena itu kita bersama bersatu untuk mengatakan tegas
TOLAK OBAMA
TOLAK KAPITALISME
TEGAKKAN SYARIAH DAN KHILAFAH


Konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan bisa dikatakan adalah proxy war (perang perpanjangan tangan) antara AS dan Cina. Selama ini AS dan Inggris sangat dominan dalam penguasaan ladang minyak di Indonesia. Perusahaan minyak multi-nasional asal Amerika dan Inggris itu dikenal dengan sebutan SEVEN SISTERS, yaitu Shell, British Petroleum, Gulf, Texaco, Exxon Mobil, dan Chevron.
Kehadiran beberapa perusaahaan minyak Cina di Indonesia memang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya PetroChina, CNIIC, dan Sinopee. Ketika perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke Indonesia, The Seven Sisters mulai goncang. Perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke lokasi sumber minyak dan gas seperti Blok Sukowati di Jawa dan Blok Tangguh di Papua.
            Oleh karena itu pemerintah AS dengan serius terus melakukan pendekatan kepada negara-negara ASEAN. Mereka beberapa kali meminta agar konflik perebutan Kawasan Laut Cina Selatan diselesaikan secara diplomatik. Dengan begitu AS akan mendapat dukungan agar pengaruh Cina di kawasan tersebut dapat dibendung atau dikurangi.
            Selain persoalan minyak dan gas bumi, AS dan Cina juga tengah bersaing untuk memperkuat hubungan militer mereka dengan negara-negara ASEAN+, yakni Korea Selatan dan Taiwan. Khusus Indonesia, meski AS terus menjalin hubungan dekat dengan Indonesia dalam bidang militer, akan tetapi Cina juga intens melakukan pendekatan kepada pemerintah RI.
            Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda usai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu Deputi Perdana Menteri Republik Rakyat Cina Tan Jiaxuan di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (5/11).
Menurut Menlu Hassan Wirajuda, dalam pertemuan tersebut dibicarakan upaya-upaya meluaskan dan meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Cina. Antara lain, masalah kerja sama militer, pertanian, perikanan, serta investasi di bidang energi dan mineral.
"Kerja sama keamanan itu terutama kerja sama industri militer. Bagaimana Cina membantu kita untuk memperbarui, meremajakan," ujar Hassan Wirajuda. Oleh karena itu, AS berkepentingan agar pemerintah RI tetap menjadikan AS sebagai satu-satunya mitra atau tepatnya majikan mereka dalam bidang militer, dan tidak beralih ke Cina. Sehingga kekuatan militer di Asia Tenggara dapat terus berada dalam kendali AS.
            Sebagai kesimpulan, agenda terselubung yang sebenarnya penting dalam KTT ASEAN ke-19 dan EAS di Bali November ini, adalah desakan AS agar negara-negara ASEAN+ (India, Jepang, Korea Selatan dan Australia) mau bersatu melawan kekuatan Cina dalam persoalan Laut Cina Selatan. Yang pada akhirnya akan memuluskan penguasaan migas dan memperkokoh militer AS di ASEAN.

Grand Strategy AS di Asia Tenggara
Posisi Asia Tenggara terbentang di persimpangan dua jalur laut terbesar di dunia. Pertama: jalur Timur-Barat yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Kedua: jalur Utara-Selatan yang menghubungkan kawasan Asia Timur dengan Australia dan New Zealand serta pulau di sekitarnya.
Tiga “pintu masuk” kawasan Asia Tenggara -Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok- merupakan titik penting dalam sistem perdagangan dunia. Ia menjadi sama pentingnya karena perselisihan politis dan ekonomis mengenai jalur laut yang melintasi kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan. Selat Malaka merupakan selat yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, sekaligus sebagai jalur terpendek yang terletak di antara India, Cina dan Indonesia. Oleh karena itu, selat ini dianggap sebagai “chokepoints” Asia.
Secara garis besar ada dua kepentingan Amerika Serikat di Asia Tenggara. Pertama: Asia Tenggara membuka garis laut, karena sebagian besar perdagangan dunia melewati selat Malaka. Kedua: Asia Tenggara penting sebagai pos untuk pergerakan kehadiran militer Amerika Serikat di Pasifik Barat dan Samudera Hindia.
Asia Tenggara secara geopolitik sangat krusial tidak hanya untuk kepentingan nasional Amerika Serikat, tetapi juga secara global. Jalur laut yang melintasi kawasan Asia Tenggara mempunyai fungsi yang vital bagi ekonomi Jepang dan Republik Korea, Cina dan Amerika Serikat sendiri.
Selat Malaka, yang melintasi Singapura, Indonesia dan Malaysia, merupakan salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Lebih dari 50.000 kapal pertahunnya transit di Selat Malaka. Padahal lebar selat ini hanya 1,5 mil dengan kedalaman 19,8 meter. Atase komunikasi Indonesia Yuri Gunadi memperkirakan setiap hari sekitar 10000 kapal masuk ke Singapura yang melintasi Selat Malaka, di antaranya 4000 kapal dagang dari Indonesia. Kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka ini merupakan 1/3 bagian dari perdagangan dunia. Berdasarkan catatan Energy Information Administration (EIA), minyak bumi yang dibawa kapal-kapal tanker via Selat Malaka (2003E) adalah 11 juta barel perhari.
Letak Asia Tenggara yang sangat strategis berdasarkan jalur ini tentu saja menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan yang sangat penting baik dari sisi ekonomi maupun keamanan. Oleh karena itu, Amerika Serikat memiliki sejumlah kepentingan untuk akses bebas dan terbuka di jalur Asia Tenggara, baik untuk kepentingan ekonomi (prosperity) maupun militier (national security).
Kebangkitan pengaruh Cina di Asia Tenggara yang terus menguat baik secara ekonomi, politik maupun militer tentu memberikan tantangan yang signifikan secara ekonomi, militer dan politik tidak hanya bagi Asia Tenggara, tetapi secara tidak langsung merupakan ancaman bagi Amerika Serikat. Yang terdekat adalah tantangan ekonomi yang dihadapi ASEAN. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Cina membuat Cina terdorong untuk melakukan investasi di negara-negara berkembang seperti kawasan ASEAN. Hal ini tentu saja menjadi persaingan karena Amerika Serikat juga merupakan mitra penting perdagangan dan investasi ASEAN.
Sekarang ini, Amerika Serikat sedang bekerja untuk mengetahui cara terbaik dalam mempengaruhi Junta militer di Burma agar bergerak menuju demokrasi (Roadmap to democracy). Oleh karena itu, berlakunya Piagam ASEAN akan menjadikan terbentuknya Badan Hak Azasi Manusia ASEAN sebagai prioritas utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Asia Tenggara, termasuk menguatkan hubungan people-to-people contact, dalam kerangka ASEAN Civil Society dan ASEAN Parliamentary Association. Amerika Serikat juga tetap mendukung bantuan dan fasilitas pelatihan untuk sekretariat ASEAN di Jakarta.
Jumlah penduduk yang besar, kondisi sosial-budaya yang beragam, sistem pemerintahan yang cenderung lemah, serta krisis ekonomi yang masih belum pulih adalah gambaran kondisi aktual yang dialami sebagian besar negara Asia Tenggara. Semua ini secara tidak langsung mempengaruhi kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.

Kepentingan AS terhadap Indonesia
Adanya kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara tentunya menjadikan Indonesia sebagai core state yang memiliki nilai penting bagi Amerika Serikat. Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia, berpenduduk Muslim terbesar di dunia, eksportir minyak dan gas terbesar di kawasannya dan merupakan titik tumpu ASEAN. 
Sebagai negara eksportir minyak dan gas terbesar di Asia Tenggara, Amerika Serikat harus memiliki hubungan yang baik dan stabil dengan Indonesia. Bagaimanapun, kebutuhan energi Amerika Serikat sangat besar, dan Indonesia merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan tersebut. Ada anggapan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperlakukan pemimpin AS bagai pemodal mengunjungi propertinya—untuk melakukan renegosiasi kontrak-kontrak migas dan tambang, seperti ExxonMobil di Aceh, Kepulauan Natuna dan Cepu, Unocal-Texaco di Kaltim, Chevron-Caltex di Riau, Conoco di Papua dan lainnya; belum lagi pengerukan emas dari dua tambang terbesar di Indonésia, milik PT Freeport dan Newmont. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Amerika Serikat untuk tidak memperhitungkan Indonesia dalam hal ini.
Selanjutnya dengan penduduk muslim terbesar, Indonesia menjadi pemain kunci dalam keterikatan Amerika Serikat terhadap dunia Islam. Ketika Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk meyakinkan dunia bahwa “war against terrorism” bukan sebuah perlawanan terhadap Islam, maka dukungan negara yang mayoritas berpenduduk Muslim moderat seperti Indonesia menjadi sangat penting. Wallahu a’lam.
  

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)