Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Rabu, 07 September 2011

Antara Millah Ibrahim dan Strategi Jihad: Memilah simpatisan mujahidin di barisan musuh

Rabu, 07 September 2011

Arrahmah.com – Perang salib baru yang dikomandani AS telah berlangsung sepuluh tahun, sejak dikumandangkan oleh George W. Bush pada tanggal 16 September 2001. Diawali dengan invasi militer aliansi salibis-zionis-paganis internasional ke Afghanistan dan Irak, kini medan jihad fi sabilillah semakin meluas ke seluruh penjuru dunia. Para mujahidin di seluruh dunia menyambutnya dengan semangat baja dan perjuangan penuh pengorbanan demi tegaknya kalimat tauhid dan syariat Allah SWT di muka bumi. Jihad di Palestina, Pakistan, Somalia, Yaman, dan lain-lain mulai menampakkan tanda-tanda kemenangan.
Di tengah gencarnya peperangan antara kubu al-haq dan kubu a-bathil, banyak pemuda muslim yang bangkit semangatnya dan bersiap menerjuni kancah jihad fi sabilillah melawan pasukan salibis-zionis-paganis internasional. Mereka memiliki dasar pemahaman tauhid dan wala’ wal bara’ yang cukup baik. Namun seringkali hal itu tidak diimbangi dengan pemahaman fiqih waqi’(memahami realita), fiqih awlawiyat (memahami skala prioritas), fiqih mashalih wal mafasid(menimbang aspek maslahat dan kerusakan), dan siyasah syar’iyah (politik sesuai aturan syariat) yang baik.
Akibatnya, karena masalah-masalah sepele, mereka sering terjerumus dalam perbedaan pendapat yang runcing. Tak jarang hal itu berakhir dengan perpecahan, ta’ashub buta, dan saling mengkafirkan di antara sesama aktifis muslim. Padahal mereka hanyalah para penuntut ilmu pemula, bukan ulama yang mumpuni keilmuannya, bukan pula para komandan jihad yang mengerti betul realita jihad di lapangan. Musuh zionis, salibis, paganis, dan komunis belum pernah mereka ‘usik’. Namun mereka sudah terjebak dalam suasana perselisihan, perpecahan, dan mengkafirkan sesama muslim yang berusaha meniti jalan jihad fi sabilillah. Boleh jadi, musuh-musuh Islam telah melakukan infiltrasi dan ‘mengompori’ mereka untuk melupakan musuh Islam dan sibuk ‘menyerang’ sesama muslim.
Untuk itu dalam kesempatan ini, arrahmah.com mengangkat korespondensi salah seorang komandan mujahidin dan qadhi syar’i Imarah Islam Qauqas (Negara Islam Kaukasus: Chechnya dan Dagestan) dengan syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi fakkallah asrahu. Korespondensi tersebut sangat urgen, karena kaum muslimin bisa mempelajari darinya bagaimana memadukan antara pelajaran tauhid, wala’ dan bara’ dengan fiqih waqi’fiqih awlawiyatfiqih mashalih wal mafasid, dan siyasah syar’iyah nabawiyah. Semoga dengan merenungkan korespondensi ini, ‘tragedi’ sesama aktivis Islam yang hendak meniti jalan jihad fi sabilillah bisa diredam dan ditiadakan.Selamat menikmati…
Korespondensi antara hakim syariat dan komandan mujahidin Imarah Kaukaz Abu Imran Anzur bin Aldar dengan syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Pertanyaan
Syaikh kami yang mulia, Abu Muhammad Al-Maqdisi hafizhahullah
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
Bagaimana keadaan Anda, syaikh kami yang tercinta? Bagaimana kabar kesehatan Anda? Saya ingin mendapatkan berita yang menenangkan hati setelah mendengar berita kecelakaan mobil yang menimpa Anda. Thahurun laa ba’sa insya Allah. Saya memohon kepada Allah agar senantiasa menjaga Anda dan keluarga Anda dari segala keburukan.
Wa ba’du…
Saya hendak meminta fatwa kepada Anda tentang sebuah masalah yang memiliki kaitan erat dengan millah Ibrahim.
Dakwah Islam menyebar luas di Rusia. Banyak orang Rusia yang masuk Islam dan banyak pula di antara orang Rusia yang bersimpati kepada kaum muslimin dan mujahidin. Terkadang orang-orang Rusia yang bersimpati tersebut adalah para pejabat tinggi dalam lingkungan tentara, intelijen, dan lembaga-lembaga tinggi pemerintahan Rusia yang lain. Sebagian mereka menampakkan keinginannya untuk membantu mujahidin. Sebagian mereka menyatakan bisa menyuplai informasi kepada mujahidin. Sebagian lainnya menyatakan siap memberikan sokongan dana dan bantuan-bantuan lainnya. Mereka mengatakan tidak mencintai pemerintah Rusia, namun mereka juga tidak ingin melepaskan jabatan-jabatan syirik mereka tersebut.
Kami mengajak mereka untuk masuk Islam. Kami katakan kepada mereka bahwa persoalan pertama, pekerjaan-pekerjaan mereka adalah pekerjaan-pekerjaan syirik. Persoalan kedua adalah melalui pekerjaan-pekerjaan tersebut, mereka terlibat dalam peperangan melawan Islam.
Mereka menjawab bahwa mereka justru bisa lebih banyak membantu kaum muslimin jika mereka bertahan dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut
Kami katakan kepada mereka bahwa jika mereka berposisi sebagai intel untuk kami, maka persoalannya boleh menurut pendapat sebagian ulama. Namun mereka menyatakan tidak siap jika harus berada dalam ketaatan kepada komandan jihad. Mereka hanya mampu membantu mujahidin dalam sebagian perkara. Mereka mengkhawatirkan keselamatan diri mereka sendiri, karena komandan jihad terkadang memerintahkan mereka melakukan urusan yang membawa bahaya besar bagi diri mereka. Misalnya komandan jihad memerintahkannya untuk menyalin (mencuri) sebagian dokumen rahasia Rusia. Oleh karenanya ia menjawab, “Saya akan membantu kalian dengan cara saya, namun saya tidak tunduk kepada perintah-perintah kalian.”
Oleh sebab itu kami katakan kepada mereka, “Boleh jadi kalian memberi manfaat kepada Islam dan kaum muslimin dengan bantuan kalian itu. Karena (dalam hadits shahih disebutkan—edt) Allah menolong agama ini melalui perantaraan orang yang banyak dosa. Namun kalian tetap berada dalam kesyirikan. Atas bantuan kalian ini, kalian sama sekali tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Kenapa kalian menjerumuskan jiwa kalian kepada bahaya yang tiada balasan apapun bagi kalian padanya?
Pertanyaannya adalah bolehkah kita menerima bantuan mereka? Ataukah kami harus menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka?
Perlu diketahui bahwa mereka ada beberapa macam:
Pertama, orang-orang yang ingin membantu mujahidin dengan tujuan merugikan (presiden Rusia Vladimir Putin (saat ini sudah digantikan oleh tangan kanan Putin, Dmitry Medvedev–edt). Mereka tidak meminta balasan apapun dari kita. Mereka memberi bantuan tanpa syarat apapun. Di permukaan, mereka seakan-akan mendukung partai, pemerintahan, dan tentara Putin. Namun secara sembunyi-sembunyi mereka membuat makar untuk menjatuhkan Putin.
Kedua, orang-orang yang mengaku beragama Islam. Nenek moyang mereka adalah suku bangsa Kaukas atau Tartar. Mereka adalah orang-orang murtad, namun sebenarnya lebih dekat kepada orang kafir asli, wallahu a’lam, karena banyak di antara mereka adalah orang-orang komunis. Mereka bersimpati kepada orang-orang yang bersuku bangsa sama dengan mereka. Mereka meremehkan orang-orang Rusia, sebaliknya orang-orang Rusia juga meremehkan mereka. Kami katakan kepada mereka, “kalian tidak ada bedanya dengan bangsa Rusia. Kalian kafir seperti halnya mereka, bahkan kekafiran kalian lebih berat. Asal muasal kalian dari suku atau bangsa tertentu tidak memberi kalian manfaat apapun.”
Kondisi mereka lebih menyerupai kondisi kaum munafik karena mereka datang kepada orang-orang kafir dengan satu muka lalu datang kepada orang-orang beriman dengan muka yang lain lagi. Kami tidak tahu apakah mereka benar-benar menerima dakwah kami ataukah mereka memberikan berbagai bantuan tersebut untuk melindungi diri mereka dari serangan mujahidin.
Apa yang boleh kami katakan kepada mereka?
Jika kewajiban kami adalah menampakkan permusuhan kepada mereka, lantas manakah di antara dua pilihan berikut yang hukumnya boleh atau benar?
Pilihan pertama, kami mengatakan kepada mereka, “Kalian adalah musuh kami. Kami wajibkan atas diri kalian untuk membayar sejumlah harta setiap bulan sekali, misalnya. Sebagai balasannya, kami tidak akan mengusik kalian. Kami akan memilih target-target lain yang lebih besar bahayanya terhadap Islam.” Pilihan ini artinya kami memberikan jaminan keamanan kepada mereka untuk tenggang masa tertentu dengan imbalan sejumlah harta atau bantuan-bantuan yang lain.
Apakah pilihan ini membatalkan millah Ibrahim? Jika orang-orang tersebut adalah orang-orang murtad, maka apakah menerima tebusan harta dari mereka berarti menyetujui kemurtadan mereka?
Di sini masih ada persoalan lain, jika kami menawan orang murtad, maka apakah kami boleh menukarkannya dengan seorang muslim yang ditawan oleh Rusia? Atau bolehkah kami meminta orang-orang kafir menyerahkan sejumlah uang sebagai tebusan pembebasan orang murtad ini? Apakah hal itu berarti menyetujui kemurtadannya? Ataukah kami wajib menegakkan hukuman riddah (hukuman mati) atas orang murtad ini? Soal yang kami tanyakan ini bukan berlaku umum, namun khusus untuk kondisi kami di Kaukasus.
Pilihan kedua, kami mengatakan kepada mereka: “Kalian adalah musuh kami, dan tidak boleh ada tolong menolong antara kami dengan kalian. Namun jika kami melihat pekerjaan-pekerjaan yang kalian lakukan menunjukkan kejujuran keinginan kalian untuk membantu kaum muslimin, maka kami akan menyibukkan diri dengan menyerang orang-orang kafir selain kalian yang lebih besar bahayanya terhadap Islam. Pilihan ini berarti kami tidak memberikan jaminan keamanan kepada mereka, kami mengambil harta atau informasi dari mereka tanpa perlu memberi balasan timbal balik.
Ketiga, orang-orang yang menampakkan keinginan untuk mempelajari pokok-pokok ajaran agama Islam. Mereka mempergunakan jabatan-jabatan mereka untuk meminimalkan bahaya terhadap kaum muslimin. Mereka bersungguh-sungguh memberikan bantuan kepada mujahidin sehingga mereka menanggung resiko besar, keselamatan hidup mereka dalam bahaya. Ada harapan mereka akan masuk Islam.
Bolehkah kami mengatakan kepada mereka: “Kalian adalah orang-orang kafir, namun kalian berusaha sesuai kemampuan kalian untuk membantu mujahidin. Maka kedudukan kalian mendekati kedudukan mata-mata bagi mujahidin. Namun ketahuilah, sesungguhnya kalian tidak mendapatkan pahala apapun atas bantuan kalian, karena kesyirikan itu menghapuskan seluruh amalan.”
Demikianlah pertanyaan atas persoalan yang membuat saya kebingungan. Masalah ini adalah masalah yang sangat rawan. Salah seorang di antara kami tidak tahu barangkali setan bisa saja mendatanginya dari satu cara tertentu lalu membuatnya terkena fitnah (godaan besar) dalam diennya sehingga ia menjadi kafir. Naudzu billah…
Sungguh bani Israil pada masa nabi Musa AS telah mengambil patung anak sapi sebagai sesembahan padahal saat itu mereka adalah bangsa yang paling mulia. Jika hal itu terjadi pada sebuah kaum yang di tengah mereka terdapat nabi Musa dan Harun AS…jika hal itu terjadi pada sebuah kaum yang menjadi saksi hidup bagaimana Allah membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya…bagaimana salah seorang di antara kami tidak takut jika terjatuh dalam kesyirikan?
Kami memohon kepada Allah keselamatan dan keteguhan di atas tauhid.
Jazakumullah khairan syaikh kami yang tercinta, semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada Anda dan menolong agama ini dengan perantaraan Anda.
Sampaikanlah salam kami kepada semua ikhwah yang bersama dengan Anda.
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarganya, dan segenap sahabatnya.

Murid Anda
Abu Imran dari Kaukasus

Jawaban syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Bismillah wal hamdu lillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah…wa ba’du
Saudara kami yang tercinta, asy-syaikh al-mujahid Abu Imran, semoga Allah menjaganya, memberinya kelurusan, dan menolong agama-Nya dengan perantaraannya. Kami berdoa kepada Allah semoga memenangkan kalian atas kaum yang zhalim. Jazakallah khairan atas surat dan pertanyaan Anda kepada kami. Alhamdu lillah, saya dan keluarga dalam keadaan baik, berkat karunia Allah. Kami berharap semoga Allah mengaruniakan kepada kami kemampuan untuk bergabung dengan saudara-saudara kami di medan-medan jihad agar kami mampu merasakan kemuliaan keluar dari kekuasaan orang-orang kafir dan kemuliaan memperjuangkan agama ini dengan senjata. Kemudian jazakallah khairan atas kepercayaan Anda kepada kami dan permintaan fatwa kepada kami. Kami memohon kepada Allah semoga melimpahkan petunjuk dan ketepatan kepada kami.
Saudaraku yang tercinta…menilik pertanyaan dan uraian rinci Anda, saya melihat Anda adalah orang yang menguasai betul persoalan itu dan merincinya dengan rincian seorang yang memiliki kedalaman ilmu dan kemantapan di atas jalan yang ia tempuh, sebuah jalan yang jelas dan sungguh-sungguh, ia dan orang-orang yang mengikutinya berdakwah dan berjihad di atas landasan ilmu yang mendalam, insya Allah.
Hanya saja keadaan kalian menurut dugaan saya, adalah seperti kebiasaan penduduk Kaukasus yaitu mencintai para ulama, mengutamakan sikap kembali kepada ulama, dan mencari berkah Allah dengan mengambil cahaya petunjuk dari pendapat para ulama. Dengan kerendah hatian sikap kalian ini, saya yang hanya seorang penuntut ilmu junior ini bak seorang ulama besar dan lautan ilmu yang tak pernah habis ditimba ilmunya. Inilah dugaan saya berdasar pengetahuan lama saya melalui apa yang anda tulis dan pilih. Selain itu, pertanyaan Anda yang rinci adalah uraian rinci seorang yang telah mengetahui jawabannya dan mengerti betul jalan yang harus ditempuh.
Bagaimanapun keadaannya, saya berpendapat dalam kondisi jihad dan sedikitnya harta benda, perbekalan, dan kemampuan mujahidin maka mujahidin boleh memilih manapun dari dua pilihan tersebut, sekalipun mereka menyikapi orang-orang murtad seperti sikap mereka kepada orang-orang kafir, selama mereka belum mampu memberlakukan tuntunan syariat atas orang-orang murtad.
Saya berpendapat dalam hal ini ada kelapangan pada saat kelemahan dan tidak adanya kemampuan. Demikian pula dalam masalah mengambil harta dari mereka atau menukarkannya dengan tawanan muslim dan lain sebagainya. Saya berpendapat semua hal tersebut ada kelapangan bagi mujahidin selama mereka belum meraih kekuasaan.
Seandainya Anda kembali kepada sirah sahabat dan para khalifah niscaya Anda akan menemukan kondisi sebagaimana yang saya sebutkan ini. Pada zaman berkuasanya nabi palsu Aswad Al-Ansi di Yaman, kaum muslimin di Yaman menampakkan taqiyah terhadapnya. Mereka menyembunyikan permusuhan mereka terhadapnya dan diam-diam menyusun rencana untuk melawannya, karena mereka dalam kondisi lemah, sampai akhirnya mereka bisa membunuhnya.
Bahkan seringkali pada zaman khilafah, pada saat kaum muslimin melemah kekuasaannya pada sebagian zaman, maka mereka melakukan mudarah (berlemah lembut agar tidak terkena bahaya–edt) kepada orang-orang kafir dari beragam aliran keagamaan. Bahkan, sebagian sultan dan khalifah kaum muslimin membayar sejumlah harta kepada kaum kafir, sesuatu yang menyerupai jizyah, untuk mencegah keganasan orang-orang kafir tersebut atas diri mereka dan kaum wanita mereka, pada masa-masa kelemahan yang dialami oleh khilafah atau sebagian negara bagiannya.
Hal seperti ini jelas ditentang oleh jiwa seorang muslim yang mulia. Namun ketika berbagai kerusakan (bahaya) terjadi, maka boleh memilih tindakan tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Inilah fiqih yang sebenarnya. Fiqih bukanlah mengetahui kerusakan (bahaya) dan membedakannya dari maslahat (kebaikan) semata. Justru fiqih yang paling besar adalah mampu menimbang mana yang lebih kuat di antara berbagai kerusakan dan maslahat saat semuanya terjadi dan saling bertolak belakang. Hal itu dengan cara mengkaji berbagai akibat dan konskuensi dari berbagai tindakan yang dipilih. Inilah kelebihan dari ulul abshar dan ulun nuha(orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang luas).
Jangan lupa bahwa hal itu memiliki landasan dalam sirah Nabi Muhammad SAW. Dalam perang Uhud saat pasukan bangsa-bangsa Arab mengepung Madinah laksana cincin yang melingkari jari dan saat hati manusia telah naik ke tenggorokan, Rasulullah SAW bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya untuk memberikan sepertiga hasil panen kurma Madinah kepada sebagian pasukan kafir tersebut, dengan syarat mereka pulang dan menghentikan pengepungan kota Madinah. Para sahabat memang menolak usulan beliau SAW, namun usulan penawaran Nabi SAW kepada para shahabat tersebut menunjukkan kebolehan tindakan itu dalam kondisi seperti itu.
Jangan lupa bahwa tindakan itu beliau lakukan kepada kaum musyrik penyembah berhala yang hukumnya tidak boleh mengambil jizyah dari mereka (menurut pendapat imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad. Adapun menurut pendapat imam Malik dan Al-Auza’I, jizyah boleh diambil dari kaum musyrik –edt), apalagi memberikan harta yang serupa dengan jizyah kepada mereka. Namun setiap keadaan memiliki pendapat tersendiri, dan setiap fase memiliki kondisi tersendiri yang Allah mengangkat kesulitan dari kaum muslimin pada fase tersebut…
Pilihan-pilihan sikap dalam kondisi berkuasa tentu berbeda dengan pilihan-pilian sikap dalam kondisi kelemahan. Ini adalah keluasan dari Allah untuk umat Islam, di mana Allah tidak menjadikan kesempitan bagi mereka dalam agama ini. Oleh karena itu pendapat yang benar adalah pendapat yang dicenderungi oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ditegaskan oleh sebagian ulama tafsir bahwa ayat-ayat tentang memaafkan, menahan diri, dan lainnya itu ditunda dan tidak dimansukh(dihapuskan) oleh ayat saif.
Maknanya, ayat-ayat tersebut dibatasi dalam kondisi tidak memiliki kekuasaan, adapun saat memiliki kekuasaan maka yang didahulukan adalah ayat saif. Setiap muslim hendaknya melihat kondisi dirinya, tempat ia hidup, dan fase yang sedang dilaluinya; lalu hendaklah ia memilih tindakan yang sesuai dalam hal yang telah Allah berikan kelapangan sikap kepada umat Islam.
Inilah maksud dari perkataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
((أَنَّ الْأَمْرَ بِقِتَالِ الطَّائِفَةِ الْبَاغِيَةِ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ وَالْإِمْكَانِ. إذْ لَيْسَ قِتَالُهُمْ بِأَوْلَى مِنْ قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ وَالْكُفَّارِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ ذَلِكَ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ وَالْإِمْكَانِ فَقَدْ تَكُونُ الْمَصْلَحَةُ الْمَشْرُوعَةُ أَحْيَانًا هِيَ التَّآلُفُ بِالْمَالِ وَالْمُسَالَمَةُ وَالْمُعَاهَدَةُ كَمَا فَعَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَالْإِمَامُ إذَا اعْتَقَدَ وُجُودَ الْقُدْرَةِ وَلَمْ تَكُنْ حَاصِلَةً كَانَ التَّرْكُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ أَصْلَحَ ))
“Sesungguhnya perintah untuk memerangi kelompok pemberontak itu disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kekuasaan. Karena memerangi mereka tidaklah lebih utama dari memerangi kaum musyrik dan kaum kafir. Sudah sama-sama diketahui bahwa memerangi kaum musyrik dan kaum kafir disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kekuasaan. Terkadang maslahat yang disyariatkan adalah melunakkan hati mereka dengan harta, membuat perjanjian damai, dan mengadakan gencatan senjata sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW tidak hanya sekali. Jika imam meyakini adanya kemampuan namun perang melawan mereka tidak meraih kemaslahatan, maka membiarkan mereka adalah lebih membawa maslahat.” (Majmu’ Fatawa, 4/442)
Dalam kitab ash-sharim al-mashlul, beliau membahas tentang kondisi saat Islam lemah, bahwa Allah memberitahukan saat itu Rasulullah SAW dan kaum muslimin mendengar banyak gangguan dari Ahlul kitab dan orang-orang musyrik. Ibnu Taimiyah mengatakan,
(( وأمرهم بالصبر والتقوى ثم إن ذلك نسخ عند القوة بالأمر بقتالهم حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون والصاغر لا يفعل شيئا من الأذى في الوجه ، ومن فعله فليس بصاغر ثم إن من الناس من يسمي ذلك نسخا لتغير الحكم ومنهم من لا يسميه نسخا لأن الله تعالى أمرهم بالعفو والصفح إلى أن يأتي الله بأمره وقد أتى الله بأمره من عز الإسلام وإظهاره والأمر بقتالهم حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون وهذا مثل قوله تعالى ” فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا”
وقال النبي صلى الله عليه وسلم ” قد جعل الله لهن سبيلا ” [مسلم] , فبعض الناس يسمي ذلك نسخا وبعضهم لا يسميه نسخا والخلاف لفظي ، ومن الناس من يقول الأمر بالصفح باق عند الحاجة إليه بضعف المسلم عن القتال بان يكون في وقت أو مكان لا يتمكن منه وذلك لا يكون منسوخا إذ المنسوخ ما ارتفع في جميع الأزمنة المستقبلة وبالجملة فلا خلاف أن النبي كان مفروضا عليه لما قوي أن يترك ما كان يعامل به أهل الكتاب والمشركين ومظهري النفاق من العفو والصفح إلى قتالهم وإقامة الحدود عليهم سمي نسخا أو لم يسم)).
Allah memerintahkan mereka untuk bersabar dan bertakwa, kemudian hal itu dinaskh (dihapus dan diganti hukum baru—edt) ketika kaum muslimin memiliki kekuatan dengan adanya perintah untuk memerangi mereka sehingga mereka menyerahkan jizyah dalam keadaan hina. Orang yang hina tidaklah mampu melakukan apapun akibat kehinaan pada wajahnya. Barangsiapa mampu melakukan sesuatu maka ia bukanlah orang yang hina.
Sebagian ulama menyebut hal ini adalah naskh karena adanya perubahan hukum. Sebagian ulama lainnya tidak menyebut hal itu sebagai naskh, karena Allah memerintahkan mereka untuk memaafkan sampai datang keputusan Allah. Keputusan Allah telah datang berupa kejayaan dan kemenangan Islam serta perintah untuk memerangi mereka sehingga mereka menyerahkan jizyah dalam keadaan hina.
Hal ini seperti maksud firman Allah, “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka.” (QS. An-Nisa’ (4): 15)
Nabi SAW bersabda, “Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka.” (HR. Muslim) Sebagian ulama menyebut hal ini sebagai naskh. Sebagian ulama yang lain tidak menyebutnya sebagainaskh. Perbedaan pendapat mereka hanyalah perbedaan istilah belaka. Sebagian ulama berpendapat perintah untuk memaafkan tetap berlaku manakala hal itu diperlukan sebagai akibat dari kelemahan kaum muslimin untuk berperang dalam suatu waktu tertentu atau pada suatu daerah tertentu yang tidak memungkinkan untuk berperang. Hal itu bukanlah mansukh, karenamansukh adalah apabila hukum tersebut dihapus untuk seluruh masa waktu yang akan datang. Intinya, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ketika Nabi SAW dalam kondisi kuat maka beliau diperintahkan untuk meninggalkan sikap memaafkan dan tidak membalas terhadap kaum ahlul kitab dan musyrikin, berganti kepada sikap memerangi dan menegakkan hukum hudud atas mereka, baik hal itu disebut naskh maupun bukan naskh.” (Ash-Sharim Al-Maslul ‘ala Syatim Ar-Rasul, 2/443-444)
Beliau juga menulis,
((فلما أتى الله بأمره الذي وعده من ظهور الدين وعز المؤمنين أمر رسوله بالبراءة إلى المعاهدين وبقتال المشركين كافة وبقتال أهل الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون فكان ذلك عاقبة الصبر والتقوى الذين أمر الله بهما في أول الأمر وكان إذ ذاك لا يؤخذ من أحد من اليهود الذين بالمدينة ولا غيرهم جزية وصارت تلك الآيات في حق كل مؤمن مستضعف لا يمكنه نصر الله ورسوله بيده ولا بلسانه فينتصر بما يقدر عليه من القلب ونحوه وصارت أية الصغار على المعاهدين في حق كل مؤمن قوي يقدر على نصر الله ورسوله بيده أو لسانه وبهذه الآية ونحوها كان المسلمون يعملون في أخر عمر رسول الله وعلى عهد خلفائه الراشدين وكذلك هو إلى قيام الساعة لا تزال طائفة من هذه الأمة قائمين على الحق ينصرون الله ورسوله النصر التام.
فمن كان من المؤمنين بأرض هو فيها مستضعف أو في وقت هو فيه مستضعف فليعمل بأية الصبر والصفح عمن يؤذي الله ورسوله من الذين أوتوا الكتاب والمشركين.
وأما أهل القوة فإنما يعملون بأية قتال أئمة الكفر الذين يطعنون في الدين وبأية قتال الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون))
Ketika Allah telah mendatangkan urusan yang Dia janjikan, yaitu kemenangan dien Islam dan kejayaan kaum muslimin, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari orang-orang musyrik yang terlibat perjanjian damai dengan beliau, dan Allah memerintahkan rasul-Nya untuk memerangi seluruh kaum musyrik dan memerangi ahlul kitab sehingga mereka menyerakan jizyah dalam keadaan hina. Hal itu adalah buah kesudahan dari kesabaran dan ketakwaan yang Allah perintahkan pada masa awal dakwah. Pada masa awal tersebut, jizyah tidak diambil dari seorang pun dari kalangan Yahudi di Madinah maupun golongan lainnya. Ayat-ayat tersebut berlaku bagi setiap mukmin yang tertindas yang tidak mampu menolong Allah dan Rasul-Nya dengan tangannya maupun lisannya. Maka ia harus menolong dengan apa yang ia mampu, yaitu amalan hati dan yang semisal dengannya.
Adapun ayat mengambil jizyah dari ahlul kitab dalam keadaan mereka hina (yaitu ahlu kitab yang terlibat kesepakatan damai-edt) berlaku untuk setiap mukmin yang kuat yang mampu menolong Allah dan Rasul-Nya dengan tangannya atau lisannya. Dengan ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya, kaum muslimin beramal pada masa akhir kehidupan Rasulullah dan masa khulafa’ rasyidin. Demikian pula hal itu berlaku sampai hari kiamat (bagi kaum mukmin yang kuat), karena akan senantiasa ada sekelompok umat ini yang menegakkan kebenaran, menolong Allah dan Rasul-Nya dengan pertolongan yang sempurna.
Oleh karena itu, barangsiapa di antara kaum mukmin dalam keadaan tertindas di sebuah daerah tertentu atau berada dalam keadaan lemah dalam suatu masa tertentu, maka hendaklah ia mengamalkan ayat bersabar dan tidak membalas terhadap orang-orang ahlul kitab dan kaum musyrik yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang-orang yang memiliki kekuatan maka harus mengamalkan ayat memerangi para gembong kekafiran yang mencerca agama dan mereka harus mengamalkan ayat memerangi ahlul kitab sehingga mereka menyerahkan jizyah dalam keadaan hina.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, 2/412-414)
Para ulama berbeda pendapat tentang status orang-orang Rusia yang Anda tanyakan tersebut, apakah mereka dihukumi orang-orang kafir asli ataukah orang-orang murtad. Saya sendiri berpendapat perbedaan tersebut pada saat ini tidak banyak faedahnya sehingga kita tidak perlu memeras tenaga untuk memutuskannya, karena pada saat ini belum memiliki kemampuan untuk menerapkan hukum syariat atas orang-orang murtad.
Fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang pasukan Tartar menunjukkan bahwa kondisi banyak prajurit Tartar menyerupai kondisi tentara Rusia yang ditanyakan di atas. Sebagian prajurit Tartar juga menyerupai kondisi kaum munafik. Meski begitu, Anda akan mendapati sikap dan fatwa-fatwa syaikhul Islam terhadap pasukan Tartar berbeda-beda sesuai kondisi dan kemampuan kaum muslimin pada zamannya.
Terkadang pada zaman tersebut, beliau dan kaum muslimin memerangi pasukan Tartar. Terkadang mereka tidak memerangi pasukan Tartar karena tidak adanya kemampuan. Terkadang beliau menemui raja-raja Tartar, berdialog dengan mereka, atau menasehati mereka, dan lain sebagainya.
Padahal jika Anda mencermati uraian rinci beliau tentang kondisi pasukan Tartar dalam fatwa beliau tentang hukum memerangi pasukan Tartar, niscaya Anda akan melihat beliau mengklasifikasikan kondisi dan golongan mereka ke dalam beberapa kelompok. Beliau mengatakan:
فَهَؤُلَاءِ الْقَوْمُ الْمَسْئُولُ عَنْهُمْ عَسْكَرُهُمْ مُشْتَمِلٌ عَلَى قَوْمٍ كُفَّارٍ مِنْ النَّصَارَى وَالْمُشْرِكِينَ وَعَلَى قَوْمٍ مُنْتَسِبِينَ إلَى الْإِسْلَامِ – وَهُمْ جُمْهُورُ الْعَسْكَرِ – يَنْطِقُونَ بِالشَّهَادَتَيْنِ إذَا طُلِبَتْ مِنْهُمْ وَيُعَظِّمُونَ الرَّسُولَ وَلَيْسَ فِيهِمْ مَنْ يُصَلِّي إلَّا قَلِيلًا جِدًّا وَصَوْمُ رَمَضَانَ أَكْثَرُ فِيهِمْ مِنْ الصَّلَاةِ وَالْمُسْلِمُ عِنْدَهُمْ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ وَلِلصَّالِحِينَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ عِنْدَهُمْ قَدْرٌ وَعِنْدَهُمْ مِنْ الْإِسْلَامِ بَعْضُهُ وَهُمْ مُتَفَاوِتُونَ فِيهِ ; لَكِنَّ الَّذِي عَلَيْهِ عَامَّتُهُمْ وَاَلَّذِي يُقَاتَلُونَ عَلَيْهِ مُتَضَمِّنٌ لِتَرْكِ كَثِيرٍ مِنْ شَرَائِعِ الْإِسْلَامِ أَوْ أَكْثَرِهَا ; فَإِنَّهُمْ أَوَّلًا يُوجِبُونَ الْإِسْلَامَ وَلَا يُقَاتِلُونَ مَنْ تَرَكَهُ ; بَلْ مَنْ قَاتَلَ عَلَى دَوْلَةِ الْمَغُولِعَظَّمُوهُ وَتَرَكُوهُ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا عَدُوًّا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَكُلُّ مَنْ خَرَجَ عَنْ دَوْلَةِ الْمَغُولِ أَوْ عَلَيْهَا اسْتَحَلُّوا قِتَالَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ خِيَارِ الْمُسْلِمِينَ . فَلَا يُجَاهِدُونَ الْكُفَّارَ وَلَا يُلْزِمُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ بِالْجِزْيَةِ وَالصَّغَارِ وَلَا يَنْهَوْنَ أَحَدًا مِنْ عَسْكَرِهِمْ أَنْ يَعْبُدَ مَا شَاءَ مِنْ شَمْسٍ أَوْ قَمَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ …
وَكَذَلِكَ أَيْضًا عَامَّتُهُمْ لَا يُحَرِّمُونَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمْوَالَهُمْ ; إلَّا أَنْ يَنْهَاهُمْ عَنْهَا سُلْطَانُهُمْ أَيْ لَا يَلْتَزِمُونَ تَرْكَهَا وَإِذَا نَهَاهُمْ عَنْهَا أَوْ عَنْ غَيْرِهَا أَطَاعُوهُ لِكَوْنِهِ سُلْطَانًا لَا بِمُجَرَّدِ الدِّينِ . وَعَامَّتُهُمْ لَا يَلْتَزِمُونَ أَدَاءَ الْوَاجِبَاتِ ; لَا مِنْ الصَّلَاةِ وَلَا مِنْ الزَّكَاةِ وَلَا مِنْ الْحَجِّ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ . وَلَا يَلْتَزِمُونَ الْحُكْمَ بَيْنَهُمْ بِحُكْمِ اللَّهِ ; بَلْ يَحْكُمُونَ بِأَوْضَاعِ لَهُمْ تُوَافِقُ الْإِسْلَامَ تَارَةً وَتُخَالِفُهُ أُخْرَى .
Berlanjut…

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)