"Kalau kita tidak ikut pemilu, orang kafir akan berkuasa, kan lebih parah ?" Argumentasi ini sering kita dengar dari teman-teman yang 'ngotot' mengajak ikut pemilu. Berbagai kaedah hukum syara' pun dikeluarkan yang populer adalah akhafud-dhororoin (mengambil dhoror yang lebih ringan) atau ahwanusyssyarrain (mengambil syar/kebu-rukan yang lebih ringan). "Memang pemilu sekarang belum Islami, tapi bahayanya lebih kecil dibanding kita tidak ikut pemilu" , kata teman tersebut.
Argumentasi di atas tentu saja penting untuk dikritisi. Pernyataan orang kafir berkuasa akan berbahaya, logika terbaliknya berarti kalau orang Islam berkuasa akan lebih baik. Tapi benarkah begitu ?
Kalau kita lihat sepanjang sejarah 'demokrasi' di Indonesia sebenarnya yang mayoritas menjadi anggota legislatif, eksekutif, sampai yudikatif adalah orang Islam. Ketua MPR jelas Muslim, ketua DPR juga sama, presiden Muslim, wakil presiden kita Muslim, sampai menteri-menteri juga mayoritas Muslim. Pejabat tertinggi TNI maupun Polri juga Muslim. Apakah berarti kondisi kita lebih baik ?.
Sulit kita menjawab bahwa kondisi kita lebih baik. Dilihat dari angka kemiskinan, pengangguran masih sangat tinggi. Perampokan kekayaan alam kita oleh asing masih terjadi atas nama investasi asing dan pasar bebas. Kriminalitas merajalela. Pornografi dan pornoaksi masih menjadi barang bebas. Bahkan dalam perkara akidah pun umat masih terancam. Ahmadiyah sampai sekarang masih bebas. Berbagai kemusyrikan merajalela.
Penyebabnya, karena kebaikan tidak bisa muncul hanya dari kebaikan individu. Tapi membutuhkan sistem yang baik. Semua persoalan kita di atas muncul akibat kita masih menerapkan sistem kufur yaitu sistem kapitalis yang asasnya sekuler. Alquran dan Assunnah baru kita baca dan dipraktikkan sebagian belum totalitas. Siapapun pemimpinnya kalau sistem masih sistem kapitalis yang kufur tidak akan terjadi perubahan. Meskipun pemimpinnya adalah ustadz atau kyai.Kebaikan hanya didapat oleh rakyat dan umat Islam kalau yang diterapkan adalah sistem syariah Islam.
Namun yang terpenting apakah kita ikut pemilu atau tidak bukanlah didasarkan kepada kemashlahatan berdasarkan hawa nafsu kita. Tapi haruslah berdasarkan hukum syara' . Apa yang diharamkan Allah SWT harus kita tinggalkan. Apa yang diperintahkan Allah SWT kita laksanakan. Itu saja , tidak lebih tidak kurang ! Demikian juga penilaian apakah sesuatu itu dhoror (berbahaya) atau syar (keburukan) juga haruslah berdasarkan hukum syara'. Prinsipnya, apapun yang dilarang hukum syara pastilah merupakan perkara syar (keburukan) yang pastilah akan menimbulkan dhoror (keburukan) bagi manusia.
Kalau Allah SWT telah melarang kita memilih pemimpin atau caleg yang tidak menjalankan hukum syara', itulah yang terbaik untuk kita.
Kaedah akhofudhdhororain maupun ahwanusysyarrain, diterapkan kalau memang kita dalam kondisi 'deadlock' , tidak ada pilihan lain. Sementara kita sekarang bukan dalam kondisi 'deadlock' yang membuat kita seakan-akan harus memilih satu-satunya jalan yakni jalan demokrasi. Ada jalan lain yang bisa kita lakukan yakni jalan Islam yakni menegakkan sistem Islam dengan metode Islam.
Yang juga sering kita lupakan keterlibatan umat Islam dalam sistem kufur justru akan melanggengkan sistem kufur tersebut. Partisipasi kita dalam sistem kufur justru memperkuat sistem kufur tersebut. Perubahan tentu akan lebih cepat, kalau umat bersama-sama menolak terlibat dalam sistem kufur dan secara bersama-sama juga menegakkan sistem Islam.
Kita bayangkan kalau lebih 80 persen pemilih yang mayoritas umat Islam tidak berpartisipasi dengan alasan hukum syara' kemudian sama-sama menegakkan sistem Islam pastilah terjadi perubahan. Sekaligus ini menghancurkan legitimasi sistem kufur yang ada. Karena sebagian besar rakyat tidak berpartisipasi. Dalam kondisi seperti ini perubahan menuju sistem Islam akan lebih cepat terjadi.
Bahaya lain dari partisipasi dalam sistem demokrasi yang kufur adalah jebakan-jebakan ideologis yang berbahaya. Antara lain sikap kompromi terhadap ideologi kufur dan koalisi dengan partai kufur. Ada gerakan Islam yang tadinya teguh dalam mememang prinsip Islam, sedikit demi sedikit luntur setelah terjebak dalam 'lumpur' demokrasi ini.
Prinsip yang penting mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, tidak peduli caranya, sangatlah berbahaya. Pantas, kalau dalam beberapa pemilihan kepala daerah, beberapa partai yang memiliki akar gerakan Islam, berkoalisi bukan berdasarkan kesamaan ideologis, tetapi kesamaan kepentingan meraih suara. Prinsip utama akidah Islam yang menuntut terpisahnya secara tegas antara yang hak dan batil pun dilanggar.
Seruan untuk menegakkan syariah Islam pun nyaris tidak terdengar dari parlemen. Alasannya sederhana sekali, seruan syariah Islam tidak laku dijual untuk meraih suara. Seharusnya, ketika rakyat belum menerima syariah Islam, justru tugas partai politik untuk menyadarkan masyarakat, bukan sebaliknya; malah tidak melakukan penyadaran.
Terakhir, pemilu demi pemilu sudah kita lewati. Tentu saja dengan dana yang besar. Tapi apa hasilnya untuk rakyat ? Adakah perubahan yang nyata ? Jawabannya adalah tidak. Karena pemilu tidak merubah sistem secara menyeluruh. Perubahan yang nyata dan signifikan akan terjadi kalau kita menolak sistem kufur yang ada yakni kapitalisme. Kemudian kita menerapkan sistem Islam yang berdasarkan syariah Islam. Inilah satu-satunya cara perubahan yang bisa diharapkan. Walhasil, masihkan berharap pada sistem demokrasi?[] farid wadjdi/www.mediaumat.com
0 komentar:
Posting Komentar