Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Selasa, 19 Oktober 2010

Masihkah Sakti, Pancasila..?

Selasa, 19 Oktober 2010
Oleh Lathifah Musa

Tanggal 1 Oktober sering disebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bahkan pada masa Orde Baru seolah disakralkan dengan upacara-upacara untuk memperingati kesaktiannya. Bagaimana dengan Pancasila hari ini? Benarkah ia adalah ideologi yang sakti? Mengapa seakan tenggelam dalam Kapitalisme yang kian membelit Indonesia? Mengapa ada istilah, merestorasi Pancasila? Bagaimana jalan keluar menyelamatkan Indonesia, di tengah cengkeraman Kapitalisme-Liberal?
Filsafat Pancasila dan Kepentingan Rezim Penguasa
Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, pernah mengatakan bahwa  Pancasila merupakan karya Bung Karno. Bung Karnolah yang pertama menyampaikan gagasan tersebut dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Namun sebenarnya asal usul pemikiran tersebut juga banyak menjadi polemik, karena yang disampaikan Bung Karno tgl 1 Juni sama dengan sila-sila yang pernah disampaikan Mohamad Yamin pada 29 Mei 1945. Hanya saat itu Mohamad Yamin tidak membicarakannya sebagai dasar negara.
Selanjutnya istilah  “Pancasila Sakti” dipopulerkan oleh Pak Harto, presiden kedua Republik Indonesia.  Sepanjang Orde Baru berkuasa, kepada rakyat Indonesia ditanamkan doktrin bahwa Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat, merupakan ajaran yang tak boleh dibantah. Pancasila kemudian seperti disakralkan dalam rangka menguatkan rezim Pak Harto.
Mengenai asal usul nilai-nilai Pancasila, banyak yang mengatakan itu bukan berasal dari budaya asli bangsa Indonesia. Budaya asli bangsa, tentu rujukannya ke anismisme (penyembahan roh) dan dinamisme. Dalam telaah-telaah tentang nilai-nilai Pancasila ini ada yang mengatakan kemiripannya dengan asas zionisme dan freemasonry seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).]
Menurut Abdullah Patani, dalam risalah kecil berjudul Freemasonry di Asia Tenggara, yang ditulisnya di Madinah al-Munawarah pada tahun 1400 H dan diterbitkan dalam bahasa Melayu di Malaysia oleh Ali bin Haji Sulong, kesamaan sila-sila pada Pancasila dengan kelima sila pada asas Zionisme dan asas Freemasonry, tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan proses panjang dan sistematis, dimana para tokoh-tokoh penggagas Pancasila (Soekarno, Soepomo, dan M. Yamin) sudah sejak lama menyerap nilai-nilai zionisme dan freemasonry itu. Demikian juga dengan Ki Hajar Dewantara, yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional.  Bung Karno adalah murid dari Ki Hajar dan A Baars (seorang Belanda) yang juga memiliki nilai-nilai ini. Apalagi Bung Karno semasa hidup menunjukkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Mustafa Kemal Attaturk, salah seorang anggota Freemasonry dari Turki. Bahkan Soekarno cenderung meneladani Kemal di dalam menghadapi Islam, antara lain tipudaya terhadap rakyat dan ulama Islam.
Selanjutnya Pancasila yang menjadi fllsafat Bung Karno juga menerapkan doktrin NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Ketika itu Soekarno berdalih, kita akan berhadapan dengan Neokolonialisme, penjajahan baru. Untuk menghadapinya, kalangan Islam harus menjalin kerja sama dengan komunis, sehingga tercipta kekuatan yang besar. Untuk itulah konsep Nasakom diperlukan. Namun nyatanya, bahaya Neokolonialisme hanya berhasil membuat PKI menjadi besar.



Ideologi dan Pancasila
Yang dimaksud ideologi adalah pemikiran yang mendasar. Dalam bahasa istilah disebut Mabda’, yakni pemikiran mendasar yang memancarkan sistem aturan yang akan mengeksiskannya. Pada faktanya, mulai abad ke-15 M hingga sekarang hanya ada tiga sistem yang bisa disebut mabda’, yaitu Islam, Sosialisme dan Kapitalisme. Namun saat ini yang eksis sebagai negara-negara di dunia hanyalah Kapitalisme. Karena sosialisme telah runtuh sesudah runtuhnya Uni Soviet tahun 1990 M. Sementara, sebagai sebuah mabda’, Islam telah berakhir bersamaan dengan runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani tahun 1924 M. Dengan demikian, sebuah ideologi dikatakan eksis ketika ada negara yang mengembannya. Namun keruntuhan negara bukan berarti hilangnya ideologi. Ideologi tetap lestari pada diri para pengembannya.
Pengakuan bahwa Islam adalah ideology yang memiliki potensi besar untuk kembali bangkit telah diakui oleh negara adidaya AS. Itulah sebabnya mengapa dalam analisis strategis pemerintah AS, mereka memasukkan ancaman selanjutnya adalah Islam. Hal ini karena AS telah menyadari bahwa Islam adalah ideologi dan akan tampil kembali menjadi ideologi besar yang menguasai dunia. Dalam konteks ideologi inilah, tidak ada yang membicarakan Pancasila. Karena Pancasila hanyalah nilai-nilai yang diambil dari ideologi sana-sini. Pancasila tidak memiliki identitas khas ideologi manapun. Wajar bila Komunis pun terakomodasi dalam penerjemahan Pancasila versi Bung Karno.
Selanjutnya Pancasila menjadi filsafat yang disakralkan, ini terjadi di masa Orde Baru. Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali. Ideologi itu dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan anggaran negara. Namun, Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi 36 butir-butir sifat yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok yang kritis. Misalnya, di jaman Pak Harto, orang yang menolak tanahnya digusur dicap “anti-Pancasila”. Orang yang mau membuat Partai selain tiga partai yang dilegalkan juga disebut “anti Pancasila”. Bahkan berjilbab pun awalnya dipandang “anti Pancasila”. Setelah Soeharto lengser, orang banyak yang skeptis dengan Pancasila.

Pada 2006, Presiden SBY berpidato tentang pentingnya Pancasila dalam menata kembali kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehari sebelumnya, sejumlah pakar mendiskusikan Pancasila yang kemudian diterbitkan dengan judul Restorasi Pancasila. Pancasila dibahas dalam rangka menghadapi perubahan zaman, globalisasi dan desentralisasi pemerintahan.
Menurut Syafi’I Ma’arif dan Kiki Syahnakri dalam wawancara terpisah denganHarian Kompas tgl 24 Agustus 2010, kini Pancasila dikatakan hampir tidak tersisa dalam era Kaptalisme dan Liberalisme.  Di sisi lain, Presiden SBY membanggakan situasi yang demokratis ini dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 16 Oktober 2010. Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketika setelah India dan AS.  Sejalan dengan hal tersebut, Pancasila sendiri tenggelam dalam dominasi Kapitalisme dan Liberalisme dalam sebuah sistem yang bernama demokrasi. Maka bagaimana ia bisa berhadapan dengan ideology Kapitalisme itu sendiri?
Mengambil Sikap menghadapi Kapitalisme-Liberalisme
Selayaknya umat Islam tidak boleh berpikir bahwa ada yang bisa menyelamatkan umat ini, selain ideologi Islam. Islam adalah agama yang tidak hanya membangun sebuah pondasi pemikiran yang kokoh sebagai sebuah prinsip ideologi pengembannya, namun juga memiliki sistem hidup yang khas, lengkap, tinggi dan mulia.
Allah SWT adalah Dzat yang paling mengetahui manusia yang diciptakan-Nya, yang paling mengetahui hukum terbaik bagi umat manusia, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Lembut kepada hambaNya. Dengan keyakinan ini, insya Allah pelaksanaan Hukum Islam itu mudah, dan yang penting akan menyelesaikan persoalan manusia dan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
Mengenai Pancasila, maka filsafat ini tidak perlu lagi dibahas atau diperdebatkan, karena memang tidak bermanfaat untuk dipikirkan. Pancasila yang selama ini menjadi slogan untuk menampilkan identitas Bangsa Indonesia, namun identitas tersebut selamanya akan mengalami perubahan sejak jaman kemerdekaan, masa revolusi jaman Nasakom, masa Orde Baru atau Reformasi, atau era Kapitalisme Global seperti ini. Bagi umat Islam, yang harus melekat hanyalah memiliki identitas Islam. Yakni hanya berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang layak dijadikan pegangan sampai mati.



Allah SWT sudah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman:Yaa ayyuhalladziina aamanuu ittaqullaaha haqqa tuqaatihi, walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.” {Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati melainkan kalian dalam keadaan muslim] (Ali Imran: 102).
Sumber Bacaan:
1.    Kesaktian Pancasila. www.wikipedia.org
2.    Pidato Kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 2010-09-30
3.    Harian Kompas, 24 Agustus 2010
4.    Freemasonry di Asia Tenggara. Abdullah Pattani. Dalam asal usul Pancasila.
5.    Peraturan hidup dalam Islam (Terj. An-Nizhaam al-Islaamiy). Syekh Taqiyuddin an Nabhany. Pustaka Thariqul Izzah. 2003
MASIHKAH SAKTI, PANCASILA? 

Oleh Lathifah Musa 

Tanggal 1 Oktober sering disebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bahkan pada masa Orde Baru seolah disakralkan dengan upacara-upacara untuk memperingati kesaktiannya. Bagaimana dengan Pancasila hari ini? Benarkah ia adalah ideologi yang sakti? Mengapa seakan tenggelam dalam Kapitalisme yang kian membelit Indonesia? Mengapa ada istilah, merestorasi Pancasila? Bagaimana jalan keluar menyelamatkan Indonesia, di tengah cengkeraman Kapitalisme-Liberal?



Filsafat Pancasila dan Kepentingan Rezim Penguasa
Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, pernah mengatakan bahwa  Pancasila merupakan karya Bung Karno. Bung Karnolah yang pertama menyampaikan gagasan tersebut dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Namun sebenarnya asal usul pemikiran tersebut juga banyak menjadi polemik, karena yang disampaikan Bung Karno tgl 1 Juni sama dengan sila-sila yang pernah disampaikan Mohamad Yamin pada 29 Mei 1945. Hanya saat itu Mohamad Yamin tidak membicarakannya sebagai dasar negara.
Selanjutnya istilah  “Pancasila Sakti” dipopulerkan oleh Pak Harto, presiden kedua Republik Indonesia.  Sepanjang Orde Baru berkuasa, kepada rakyat Indonesia ditanamkan doktrin bahwa Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat, merupakan ajaran yang tak boleh dibantah. Pancasila kemudian seperti disakralkan dalam rangka menguatkan rezim Pak Harto.
Mengenai asal usul nilai-nilai Pancasila, banyak yang mengatakan itu bukan berasal dari budaya asli bangsa Indonesia. Budaya asli bangsa, tentu rujukannya ke anismisme (penyembahan roh) dan dinamisme. Dalam telaah-telaah tentang nilai-nilai Pancasila ini ada yang mengatakan kemiripannya dengan asas zionisme dan freemasonry seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).



Menurut Abdullah Patani, dalam risalah kecil berjudul Freemasonry di Asia Tenggara, yang ditulisnya di Madinah al-Munawarah pada tahun 1400 H dan diterbitkan dalam bahasa Melayu di Malaysia oleh Ali bin Haji Sulong, kesamaan sila-sila pada Pancasila dengan kelima sila pada asas Zionisme dan asas Freemasonry, tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan proses panjang dan sistematis, dimana para tokoh-tokoh penggagas Pancasila (Soekarno, Soepomo, dan M. Yamin) sudah sejak lama menyerap nilai-nilai zionisme dan freemasonry itu. Demikian juga dengan Ki Hajar Dewantara, yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional.  Bung Karno adalah murid dari Ki Hajar dan A Baars (seorang Belanda) yang juga memiliki nilai-nilai ini. Apalagi Bung Karno semasa hidup menunjukkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Mustafa Kemal Attaturk, salah seorang anggota Freemasonry dari Turki. Bahkan Soekarno cenderung meneladani Kemal di dalam menghadapi Islam, antara lain tipudaya terhadap rakyat dan ulama Islam.
Selanjutnya Pancasila yang menjadi fllsafat Bung Karno juga menerapkan doktrin NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Ketika itu Soekarno berdalih, kita akan berhadapan dengan Neokolonialisme, penjajahan baru. Untuk menghadapinya, kalangan Islam harus menjalin kerja sama dengan komunis, sehingga tercipta kekuatan yang besar. Untuk itulah konsep Nasakom diperlukan. Namun nyatanya, bahaya Neokolonialisme hanya berhasil membuat PKI menjadi besar.



Ideologi dan Pancasila
Yang dimaksud ideologi adalah pemikiran yang mendasar. Dalam bahasa istilah disebut Mabda’, yakni pemikiran mendasar yang memancarkan sistem aturan yang akan mengeksiskannya. Pada faktanya, mulai abad ke-15 M hingga sekarang hanya ada tiga sistem yang bisa disebut mabda’, yaitu Islam, Sosialisme dan Kapitalisme. Namun saat ini yang eksis sebagai negara-negara di dunia hanyalah Kapitalisme. Karena sosialisme telah runtuh sesudah runtuhnya Uni Soviet tahun 1990 M. Sementara, sebagai sebuah mabda’, Islam telah berakhir bersamaan dengan runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani tahun 1924 M. Dengan demikian, sebuah ideologi dikatakan eksis ketika ada negara yang mengembannya. Namun keruntuhan negara bukan berarti hilangnya ideologi. Ideologi tetap lestari pada diri para pengembannya.
Pengakuan bahwa Islam adalah ideology yang memiliki potensi besar untuk kembali bangkit telah diakui oleh negara adidaya AS. Itulah sebabnya mengapa dalam analisis strategis pemerintah AS, mereka memasukkan ancaman selanjutnya adalah Islam. Hal ini karena AS telah menyadari bahwa Islam adalah ideologi dan akan tampil kembali menjadi ideologi besar yang menguasai dunia. Dalam konteks ideologi inilah, tidak ada yang membicarakan Pancasila. Karena Pancasila hanyalah nilai-nilai yang diambil dari ideologi sana-sini. Pancasila tidak memiliki identitas khas ideologi manapun. Wajar bila Komunis pun terakomodasi dalam penerjemahan Pancasila versi Bung Karno.



Selanjutnya Pancasila menjadi filsafat yang disakralkan, ini terjadi di masa Orde Baru. Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali. Ideologi itu dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan anggaran negara. Namun, Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi 36 butir-butir sifat yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok yang kritis. Misalnya, di jaman Pak Harto, orang yang menolak tanahnya digusur dicap “anti-Pancasila”. Orang yang mau membuat Partai selain tiga partai yang dilegalkan juga disebut “anti Pancasila”. Bahkan berjilbab pun awalnya dipandang “anti Pancasila”. Setelah Soeharto lengser, orang banyak yang skeptis dengan Pancasila.
Pada 2006, Presiden SBY berpidato tentang pentingnya Pancasila dalam menata kembali kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehari sebelumnya, sejumlah pakar mendiskusikan Pancasila yang kemudian diterbitkan dengan judul Restorasi Pancasila. Pancasila dibahas dalam rangka menghadapi perubahan zaman, globalisasi dan desentralisasi pemerintahan.
Menurut Syafi’I Ma’arif dan Kiki Syahnakri dalam wawancara terpisah denganHarian Kompas tgl 24 Agustus 2010, kini Pancasila dikatakan hampir tidak tersisa dalam era Kaptalisme dan Liberalisme.  Di sisi lain, Presiden SBY membanggakan situasi yang demokratis ini dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 16 Oktober 2010. Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketika setelah India dan AS.  Sejalan dengan hal tersebut, Pancasila sendiri tenggelam dalam dominasi Kapitalisme dan Liberalisme dalam sebuah sistem yang bernama demokrasi. Maka bagaimana ia bisa berhadapan dengan ideology Kapitalisme itu sendiri?



Mengambil Sikap menghadapi Kapitalisme-Liberalisme
Selayaknya umat Islam tidak boleh berpikir bahwa ada yang bisa menyelamatkan umat ini, selain ideologi Islam. Islam adalah agama yang tidak hanya membangun sebuah pondasi pemikiran yang kokoh sebagai sebuah prinsip ideologi pengembannya, namun juga memiliki sistem hidup yang khas, lengkap, tinggi dan mulia.
Allah SWT adalah Dzat yang paling mengetahui manusia yang diciptakan-Nya, yang paling mengetahui hukum terbaik bagi umat manusia, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Lembut kepada hambaNya. Dengan keyakinan ini, insya Allah pelaksanaan Hukum Islam itu mudah, dan yang penting akan menyelesaikan persoalan manusia dan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
Mengenai Pancasila, maka filsafat ini tidak perlu lagi dibahas atau diperdebatkan, karena memang tidak bermanfaat untuk dipikirkan. Pancasila yang selama ini menjadi slogan untuk menampilkan identitas Bangsa Indonesia, namun identitas tersebut selamanya akan mengalami perubahan sejak jaman kemerdekaan, masa revolusi jaman Nasakom, masa Orde Baru atau Reformasi, atau era Kapitalisme Global seperti ini. Bagi umat Islam, yang harus melekat hanyalah memiliki identitas Islam. Yakni hanya berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang layak dijadikan pegangan sampai mati.
Allah SWT sudah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman:Yaa ayyuhalladziina aamanuu ittaqullaaha haqqa tuqaatihi, walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.” {Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati melainkan kalian dalam keadaan muslim] (Ali Imran: 102).
Sumber Bacaan:


  1. Kesaktian Pancasila. www.wikipedia.org
  2. Pidato Kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 2010-09-30
  3. Harian Kompas, 24 Agustus 2010
  4. Freemasonry di Asia Tenggara. Abdullah Pattani. Dalam asal usul Pancasila.
  5. Peraturan hidup dalam Islam (Terj. An-Nizhaam al-Islaamiy). Syekh Taqiyuddin an Nabhany. Pustaka Thariqul Izzah. 2003

sumber http://globalmuslimcommunity.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)