Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Selasa, 28 September 2010

MA'RIFAT

Selasa, 28 September 2010
1 komentar
Pada artikel ini penulis hanya menyampaikan tentang paham Ma'rifat yang selama ini menjadi pembahasan utama bagi umat muslim dan juga sebagai kontroversi yang berkepanjangan dan sebetulnya dalam ajaran islam itu sendiri  tarekat,hakekat dan ma'rifat sudah otomatis didapat apabila kita menjalankan syari'at islam dengan benar yg pada akhirnya tasawuf hasil akhir dari peribadfatan muslim.disilahkan untuk dikaji lebih mendalam.

III.15. SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH (hal. 181)
oleh KH Ali Yafie

Kata syari'ah telah beredar luas di  kalangan  umat  muslim.
Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai
antara lain  pada  Surah  al-Jatsiyah:  18.  Pemakaian  kata
tersebut  mengacu  kepada  makna  ajaran dan norma agama itu
sendiri.  Dalam  perkembangan  Islam  munculnya  tiga   kata
thariqah,   haqiqah   dan   ma'rifah,   telah  mengakibatkan
terbatasnya  pengertian  syari'ah  sehingga   lebih   banyak
mengacu  pada  norma  hukum.  Sedangkan  tiga  kata  lainnya
menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf.  Karena  itu  ada
baiknya  kita  lebih  dahulu  berbicara  tentang tasawuf itu
sendiri.

Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama,  mereka
adalah  kelompok  spiritual  dalam umat Islam yang berada di
tengah-tengah dua kelompok  lainnya  yang  disebut  kelompok
formal  dan  kelompok  Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri  dari   ulama-ulama   mutakallim   (ahli   teologi),
sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits
dan  fuqaha.  Kedua,  bahwa  tasawuf  itu   hanyalah   suatu
kecenderungan  spiritual  yang  membentuk  etika  moral  dan
lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya  kita  katakan
seorang  muhaddttsin  sekaligus  juga  ulama sufiyah, begitu
pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.

Ajaran  Tasawuf  pada   dasarnya   merupakan   bagian   dari
prinsip-prinsip  Islam  sejak  awal.  Ajaran ini tak ubahnya
merupakan upaya  mendidik  diri  dan  keluarga  untuk  hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran
agama   dalam   kehidupannya   sehari-hari.   Ibnu   Khaldun
mengungkapkan,   pola   dasar  tasawuf  adalah  kedisiplinan
beribadah, konsentrasi  tujuan  hidup  menuju  Allah  (untuk
mendapatkan  ridla-Nya),  dan  upaya  membebaskan  diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan  duniawi,  sehingga  tidak
diperbudak   harta   atau  tahta,  atau  kesenangan  duniawi
lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi  pada
kalangan   kaum   muslim  angkatan  pertama.  Pada  angkatan
berikutnya   (abad   2    H)    dan    seterusnya,    secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan  duniawi  menjadi  lebih  berat.   Ketika   itulah
angkatan  pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan  tersebut  berkelanjutan  hingga   mencapai   puncak
perkembangannya  pada  akhir  abad 4 H. Dalam masa tiga abad
itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah,  sehingga
di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,
seperti kita dapat simak dalam karya sastra  "cerita  seribu
satu  malam"  dimasa  kejayaan  kekhalifahan Abbasiyah. Pada
masa itu gerakan tasawuf juga  mengalami  perkembangan  yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi
mulai  ditandai  juga  dengan   berkembangnya   suatu   cara
penjelasan  teoritis  yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma  yang
dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya
penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam  menjabarkan
prinsip-prinsip  ajaran  Islam  mengenai  penataan kehidupan
pribadi dan masyarakat yang  sudah  berkembang  selama  tiga
abad  -dengan  munculnya  disiplin  ilmu Tasawuf- terjadilah
pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk  penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang  disebut  haqiqah.  Selanjutnya
para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.

Pada tahap  perkembangannya,  secara  berangsur-angsur  pola
pikir  dan  pola  hubungan  antara  ahli  syari'ah  dan ahli
haqiqah  makin   berbeda.   Dan   ini   menimbulkan   banyak
pertentangan   antara  kedua  kelompok  tersebut.  Perbedaan
tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:

1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara
   berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang
   formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,
   para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran
   Islam.

2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para
   ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan
   diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan
   teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah
   al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal
   dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu
   dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.

3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan
   syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata,
   kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas
   dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka
   sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.

4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai
   perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur
   dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan
   alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).

Jurang pemisah yang makin hari  makin  melebar  antara  ahli
syari'ah  dan  ahli  haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar
akhir  abad  kelima  Hijrah,  dan  Imam   Ghazali   berupaya
memulihkannya.  Dalam  kaitan  inilah  beliau  tampil dengan
karya besarnya Ihya 'Ulum  al-Din.  Dalam  buku  ini  beliau
mempertemukan   teori-teori   syari'ah   dengan  teori-teori
haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu  dalam
merukunkan  kembali  antara  para  ahli syari'ah dengan ahli
haqiqah.

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat
lembaga  keagamaan  non-formal  yang  namanya "tarekat" asal
kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita  jumpai  Tarekat
Qadiriyah    yang    cukup    dikenal,   disamping   Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah.  Dalam
satu  dasawarsa  terakhir  ini,  kita melihat adanya langkah
lebih  maju  dalam  perkembangan  tarekat-tarekat   tersebut
dengan  adanya  koordinasi antara berbagai macam tarekat itu
lewat  ikatan  yang  dikenal  dengan   nama   Jam'iyah   Ahl
al-Thariqah   al-Mu'tabarah.   Pada   tahun   lima  puluhan,
pemerintah  Mesir  menempatkan  pembinaan   dan   koordinasi
tarekat-terekat   tersebut  di  bawah  Departemen  Bimbingan
Nasional  (Wizarah  al-Irsyad   al-Qaumi).   Pertimbangannya
ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu
merupakan  bagian  dari  potensi  bangsa/umat,  yang  berhak
mendapatkan  perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan
suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu,  ada  baiknya  kita
mempertanyakan   kapankah   munculnya   tarekat   (al-thuruq
al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan  tasawuf
Dr.  Kamil  Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan  sistem  thariqah  (tarekat)  itu Syekh Abdul
Qadir  al-Jilani  (w.  561  H/1166  M)  di  Baghdad.  Ajaran
tarekatnya  menyebar  ke  seluruh  penjuru dunia Islam, yang
mendapat  sambutan  luas  di  Aljazair,  Ghinia  dan   Jawa.
Sedangkan  di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat
Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i.  Dan  tempat
ketiga  diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal
al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273  M).  Beliau  membuat  tradisi
baru  dengan  menggunakan  alat-alat  musik  sebagai  sarana
dzikir. Kemudian sistem ini  berkembang  terus  dan  meluas.
Dalam  periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang
mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya,  dan
dunia Islam bagian Timur pada umumnya.

Yang  juga  perlu  dicatat  di  sini ialah munculnya Tarekat
Sanusiyah yang  mempunyai  disiplin  tinggi  mirip  disiplin
militer.  Di  bawah  syeikhnya  yang  terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif  al-Sanusi  berhasil  menggalang   satu   kekuatan
perlawanan  rakyat  yang  mampu memerangi kolonialis Italia,
Perancis dan Inggris  secara  berturut-turut,  dan  akhirnya
membebaskan  wilayah  Libya.  Mungkin sifat keras dari iklim
yang  dibentuk  Tarekat  Sanusiyah  inilah   yang   mewarnai
Mu'ammar  al-Qadafi  mengambil  alih  kekuasaan dan berkuasa
sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

Nicholson mengungkapkan hasil  penelitiannya,  bahwa  sistem
hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat
yang  berbeda-beda  itu.  Semua  pengikutnya  dididik  dalam
disiplin  itu,  dan  pada  umumnya  tarekat-tarekat tersebut
walaupun beragam namanya dan metodenya,  tapi  ada  beberapa
ciri yang menyamakan:

1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi
   penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan
   diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu
   menjalani masa persiapan yang berat.

2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)

3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi
   dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa
   hari (kadang-kadang sampai 40 hari).

4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam
   waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan
   alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat
   membina konsentrasi ingatan.

5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka
   yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang
   berlaku di luar kebiasaan.

6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau
   pembantunya yang tidak bisa dibantah

Dari sistem  dan  metode  tersebut  Nicholson  menyimpulkan,
bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang
terorganisasi  untuk  membina  suatu  pendidikan  moral  dan
solidaritas  sosial.  Sasaran  akhir  dari pembinaan pribadi
dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih,  bersahaja,
tekun  beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah
yang diridlai Allah, dengan jalan  pengamalan  syari'ah  dan
penghayatan   haqiqah  dalam  sistem/metode  thariqah  untuk
mencapai ma'rifah.

Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah  dalam  terma  mereka
ialah  penghayatan  puncak  pengenalan  keesaan  Allah dalam
wujud  semesta  dan  wujud  dirinya  sendiri.   Pada   titik
pengenalan  ini  akan  terpadu  makna tawakkal dalam tawhid,
yang  melahirkan  sikap  pasrah  total  kepada  Allah,   dan
melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu
selain Allah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa
   'l-Da'wah fi 'l-lslam.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam
Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din
Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.
Kamil Mushthafa al-Syibli,
   al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

read more

Rabu, 15 September 2010

Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim

Rabu, 15 September 2010
0 komentar

penulis Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Syariah Nasehat 21 - Juni - 2007 19:12:12
Di antara perkara yg sering merusak ukhuwah Islamiyah ialah ada sikap dari sebagian kita yg tdk mau memaklumi bila saudara berbuat salah atau keliru. Padahal kesalahan yg dilakukan oleh seseorang itu bisa jadi krn lupa salah paham bodoh krn belum tahu ilmu atau krn terpaksa sehingga berbuat demikian.
Sikap pukul rata ini banyak terjadi di kalangan kaum muslimin bahkan juga di kalangan Ahlus Sunnah. Ketika ada orang yg berbuat salah bukan dinasihati atau diingatkan malah dihadapi dgn sikap permusuhan. Terkadang digelari sebutan-sebutan yg jelek atau malah ia dijauhkan dari kaum muslimin.
Sikap yg lbh ekstrim dlm masalah ini adl apa yg ditunjukkan kelompok Khawarij. Mereka lbh tdk bisa melihat saudara yg berbuat kesalahan. Orang yg terjatuh dlm perbuatan dosa dlm pandangan mereka telah terjatuh dlm kekafiran hingga halal darah dan hartanya.
Kondisi ini tentu akan bermuara pada pecah ukhuwah di kalangan umat Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim dgn sebab sebuah dosa atau kesalahan yg ia kerjakan selama ia masih menjadi ahlul qiblat . Seperti dlm masalah-masalah yg masih diperselisihkan kaum muslimin di mana mereka berpendapat dgn suatu pendapat yg kita anggap salah mk tdk bisa kita mengkafirkannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi udzur kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ. لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yg diturunkan kepada dari Rabb mereka demikian pula orang2 yg beriman. Semua beriman kepada Allah malaikat-malaikat-Nya kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. : ‘Kami tdk membeda-bedakan antara seorangpun dari rasul rasul-Nya’ dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat’. : ‘Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” Allah tdk membebani seseorang melainkan sesuai dgn kesanggupannya. Ia mendapat pahala yg diusahakan dan ia mendapat siksa yg dikerjakannya. : ‘Ya Rabb kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yg berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang2 yg sebelum kami. Ya Rabb kami janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yg tdk sanggup kami pikul. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami mk tolonglah kami terhadap kaum yg kafir’.”
Disebutkan dlm riwayat yg shahih bahwa Allah telah mengabulkan doa para nabi dan doa orang2 beriman ini. Sehingga diangkatlah pena dari orang2 yg berbuat kesalahan krn lupa atau krn ia tdk mengerti ilmunya. Juga bagi orang yg tdk sanggup memikul suatu beban.”
orang2 Khawarij tdk mau membedakan hal-hal tersebut. Menurut mereka barangsiapa berbuat dosa mk dia menentang Al-Qur`an. Barangsiapa menentang Al-Qur`an berarti menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan barangsiapa menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti dia kafir. Mereka menyamakan semua perbuatan salah dan menganggap sebagai kekafiran.
Syaikhul Islam melanjutkan: “Khawarij yg telah salah dlm hukum ini oleh Rasulullah diperintahkan utk diperangi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Sungguh jika aku sempat menjumpai mereka aku akan perangi mereka aku akan tumpas layak kaum Aad.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan utk memerangi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ
“Kalau ada dua kelompok kaum mukminin berperang mk damaikanlah keduanya. Kalau salah satu memberontak mk perangilah mereka sampai mereka kembali kepada Allah.”
Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu benar-benar menjumpai orang2 Khawarij mk beliau bersama para sahabat pun memerangi mereka. Begitupun seluruh imam baik dari generasi sahabat tabi’in atau setelah mereka sepakat bahwa Khawarij itu harus diperangi. Namun Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tdk mengkafirkan mereka.
Begitu pula sahabat yg lain seperti Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu dan lain mereka juga memerangi orang2 Khawarij. Namun mereka tetap menganggap Khawarij itu sebagai kaum muslimin. Sehingga cara memerangi pun berbeda dgn memerangi orang kafir. Bila orang kafir diperangi mk harta menjadi ghanimah wanita dan anak-anak mereka menjadi tawanan. Sedangkan memerangi Khawarij tdk demikian. Mereka hanya diperangi sampai mereka mau kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kembali taat kepada penguasanya.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memerangi Khawarij setelah terbukti mereka menumpahkan darah dan merampas harta kaum muslimin dgn zhalim. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah aku akan perangi mereka sampai tdk tak tersisa 10 orang pun di antara mereka.”
Ketika para sahabat menyebut mereka sebagai kafir mk Ali radhiyallahu ‘anhu berkata:
لاَ، مِنَ الْكُفْرِ فَرُّوْا
“Tidak. Mereka justru lari dari kekufuran.”
Sikap orang2 Khawarij yg demikian yakni khawatir terjatuh pada kekafiran inilah yg menyebabkan mereka memiliki sikap ekstrim dlm melihat perbuatan dosa. Apa akibatnya? Terjadilah perpecahan dan pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin.
Kesesatan Khawarij yg telah jelas diterangkan oleh nash dan disepakati kaum muslimin –bahkan membuat mereka boleh diperangi– tdk menyebabkan mereka boleh utk dikafirkan. Apalagi beragam kelompok lain yg bermunculan pada masa ini di mana mereka dihinggapi berbagai kekeliruan dan kebodohan mk mereka tdk bisa utk dikatakan sebagai kafir. Kebanyakan dari mereka adl orang2 bodoh yg tdk tahu tentang apa yg diperselisihkan.”
Inilah perbedaan antara Khawarij dgn Ahlus Sunnah. Khawarij menganggap kafir kaum muslimin dan khusus Ahlus Sunnah krn dianggap sebagai kelompok yg pro thaghut . Namun demikian kita tetap tdk mengkafirkan mereka. Inilah bijak Ahlus Sunnah. Mereka berjalan dgn ilmu bukan dgn emosi. Mereka mengetahui bahwa hukum asal darah kaum muslimin adl terjaga. Begitu pula dgn kehormatan dan harta kaum muslimin semua terjaga.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dlm hadits shahih yg diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim saat Haji Wada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ
“Sungguh darah harta dan kehormatan kalian adl suci seperti suci hari ini seperti suci bulan ini dan seperti suci negeri ini hingga hari kalian bertemu Rabb kalian.”
Karena itu kita jangan sampai terjerumus ke dlm kesalahan yg sama dgn Khawarij. Yaitu tdk membedakan antara orang yg salah krn lupa tdk tahu atau terpaksa dgn para penentang Sunnah. Hingga akhir kita menyamaratakan dan menyikapi mereka dgn sikap yg sama yaitu memusuhi dan menjatuhkan kehormatannya.
Kita harus menjaga agar darah kaum muslimin tdk tertumpah dgn cara yg zhalim begitu pula dgn harta dan kehormatan mereka. Karena darah harta dan kehormatan kaum muslimin adl suci sebagaimana suci Hari Arafah suci Kota Mekkah dan bulan Dzulhijjah. Kita harus menjaga kemuliaan darah harta dan kehormatan kaum muslimin sebagaimana kita menjaga kemuliaan hari Arafah Kota Makkah dan bulan Dzulhijjah.
Dalam permasalahan ini memang ada pengecualian. Seperti dibolehkan utk menumpahkan darah kaum muslimin krn qishash hukum rajam bagi pelaku zina yg sudah menikah atau krn seseorang keluar dari agama Islam yg tentu semua ini dilakukan oleh penguasa. Ini adl perkara pengecualian yg dibolehkan utk menumpahkan darah seorang muslim. dlm permasalahan harta dibolehkan saat mengambil dlm rangka menjalankan perintah zakat. Sedangkan dlm masalah kehormatan dibolehkan utk menerangkan keadaan seorang mubtadi’ -yang memiliki pemikiran berbahaya dlm masalah agama- di muka umum sehingga umat Islam selamat dari pemikirannya.
Yang tdk kalah penting utk diperhatikan adl masalah harta. Seluruh kaum muslimin harus saling menjaga harta saudaranya. Jangan sampai kita merampas harta orang lain secara zhalim jangan menipu atau berhutang dgn niat utk tdk membayar. Semua perbuatan ini juga terlarang sebagaimana terlarang menumpahkan darah kaum muslimin.
Sungguh merupakan kejadian yg benar-benar memalukan jika ada seorang yg mengaku Ahlus Sunnah memakan harta saudara dgn cara yg zhalim dlm masalah perdagangan atau hutang piutang hingga terjadi permusuhan di antara mereka. Terjadi saling boikot saling tahdzir saling mencela dan sebagai hanya krn semata-mata masalah uang. Masalah ini bisa menjadi besar dan berbahaya yg semua berawal hanya krn tdk dijaga harta sesama muslim.
Untuk urusan menumpahkan darah sesama muslim barangkali Khawarij yg paling ahli. Namun utk urusan memakan harta sesama muslim dgn cara yg zhalim melanggar kehormatan saudara yg mesti jangan sampai dilanggar ternyata terjadi juga di kalangan orang2 yg mengaku Ahlus Sunnah.
Karena itu saya wasiatkan kepada kita semua dan kaum muslimin takutlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita bicara tentang Khawarij bahwa mereka itu kelompok sesat yg telah melanggar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan menumpahkan darah sesama muslim dgn cara yg zhalim sementara di saat yg sama kita pun melanggar hadits tersebut pada sisi yg lain.
Perbuatan mengambil harta sesama muslim dgn cara yg batil atau melanggar kehormatan merupakan dua keharaman yg memiliki kedudukan sama sebagaimana larangan menumpahkan darah seorang muslim dgn cara yg batil. Karena tiga masalah ini disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm satu hadits di atas sebagai perkara yg harus dijaga dan tdk boleh dilanggar.
Mari kita mulai dari yg kecil. Kita jaga kehormatan kaum muslimin kita hormati sesama Ahlus Sunnah dgn tdk saling mengghibah dan mencari aib saudaranya. Bila kita dapati saudara kita berbuat keliru atau melakukan sebuah kemaksiatan mk yg pantas dilakukan adl memberi nasihat kepada dgn cara yg baik. Inilah semesti sikap seorang Ahlus Sunnah kepada saudaranya. Bukan dgn mendiamkan dan kemudian menceritakan perbuatan saudara itu kepada orang banyak.
Di dunia ini tdk ada manusia yg terbebas dari kesalahan. Manusia adl tempat salah dan lupa. Bila tiap orang dicari-cari kesalahan niscaya tdk ada seorang pun yg selamat. Yang terjadi kemudian adl saling membongkar aib yg pada akhir jatuhlah kehormatan kaum muslimin secara bersama. Akan jeleklah keadaan kaum muslimin di mata orang lain.
Lebih-lebih bagi yg menyandang nama Ahlus Sunnah bisa menyebabkan dakwah ini jatuh. Karena itu jangan sampai kita menganggap remeh perkara ini. Ghibah kepada sesama muslim akan menyebabkan kehormatan kaum muslimin jatuh. Begitu pula ghibah kepada para dai dan lebih-lebih kepada para ulama juga akan menyebabkan kehormatan mereka jatuh. Ini semua bisa menyebabkan rusak dakwah dan hilang ukhuwah Islamiyah.
Wallahu a’lam.
Sumber: www.asysyariah.com

read more

Puisiku Untuk Mu

0 komentar
pinter nya para pemimpin kita 
mengacu hukum ke negri belanda
pinternya para pemimpin kapitalis 
menimba ilmu hukum ke negri inggris
gak ada yang lebih logis?
semua hanya utopis...

jauh-jauh mencari KUTIL
sudah mahal tak ada hasil
berharap adil ternyata bathil 
para pemimpin bakhil
sukanya jahil
duit rakyat dibuat usil

seberapa pinterkah para pemimpin kita?
tidaklah sepintar yang kita duga
pemimpin atau kah pembebek?
masa kita ga melek?
pemimpin modal ketek 
maunya tak sobek-sobek

mengikuti penjajah lebih mudah
hukum Allah dianggap sampah
oh, tidak itu kah yg disebut pemimpin amanah?
menebar janji sampai mulut berbusah
yang ada hanya tipuan sampah

sampai kapan kah negri ini terpuruk?
sampai para cecunguk itu pada busuk..

negri pengekor 
para pemimpinnya tukang molor
tidak lebih mulya dari penjual kolor
maunya sih sohor
yang ada malah tekor
wah dasar pengekor..

gak sadarkah kita telah tertipu
inilah kerjaan pemimpin dungu
banyak bergaya banyak belagu

saatnya kita hijrah
dari negri sampah ke negri gemah ripah
hanya lewat syariah kita bisa berubah
ya.. hanya dengan al quran dan assunah
kita bisa berubah dan terarah
terapkan syariah
tinggalkan hukum-hukum jahiliah
tegakkan kembali khilafah alaminhajjin nubuah
sesuai al quran dan assunah
insya Allah berkah
dunia akhirat pasti bungah ...


read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)