Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Rabu, 11 Juni 2014

The MODEL (Kapitalisme dan segala keserakahannya. kalo dalam ekonomi syariah bisnis itu bukan sekedar Profit tapi Surga & Neraka)

Rabu, 11 Juni 2014
0 komentar
18 jam · 
Erisychthon merupakan tokoh dalam dongeng Ovid mitologi Yunani kuno. Sosoknya masih relevan dengan gambaran karakter manusia di abad modern. Serakah dan menghancurkan. Keserakahannya tidak hanya menghancurkan orang lain tapi juga diri sendiri. Demi mengejar kenikmatan hidup, memuaskan survival instinct, mereka rela mengorbankan orang lain seraya ‘membunuh’ kebahagiaan sendiri.

Lebih jauh, sifat inilah yang dimiliki para pemain utama dalam membentuk peradaban. Sebuah peradaban yang terus berproduksi dengan super cepat seraya menumpahkan sampah fisik dan sosial.

Dalam bukunya yang berjudul Spiritual Capital: Wealth We Can Live by (2004), Danah Zohar dan Ian Marshall menjadikan cerita Erisychthon ini sebagai muqaddimah keserakahan bisnis kapitalis. Keserakahan yang merusak diri sendiri, menurut mereka, tidak hanya menimpa dunia bisnis, namun menjadi budaya secara keseluruhan. Menurut mereka, kapitalisme telah memproduksi manusia dengan menjadikan Erisychthon sebagai simbol puncak manusia ekonomi. Kapitalisme memandang manusia sebagai makhluk ekonomi, yang oleh Adam Smith disebut memiliki kecenderungan alamiah untuk melakukan pertukaran (barang dan jasa). Disamping itu kapitalisme juga mengasumsikan manusia selalu bertindak demi mengejar kepentingan rasionalnya sendiri atau setidaknya mengejar apa yang diprediksi akan menguntungkannya. Prinsipnya adalah pencarian keuntungan demi keuntungan itu sendiri (the pursuit of profit for its own sake). Asumsi manusia seperti inilah yang menjadikan manusia kapitalis menjadi sangat individualis, kecanduan keuntungan materi, mengalami desakralisasi nilai, rakus, serakah, stress, mengalami kehampaan hidup dan juga merusak diri sendiri.

Berikut ini suara-suara para eksekutif dan pebisnis pada umumnya yang sempat direkam oleh Danah Zohar & Ian Marshall:
“Lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah.”
“Satu-satunya tujuan bisnis ini adalah memenuhi permintaan pelanggan kita dan meraup keuntungan darinya.”
“Kami tidak tahu apa yang ada di luar sana, dan kami tidak peduli.”
“Saya bekerja di sini hanya untuk uang.”
“Saya pikir bukan tanggung jawab kita untuk memikirkan generasi masa depan. Pekerjaan kita adalah memuaskan pelanggan kita saat ini.”
Celakanya, para pebisnis seperti ini menjadi tokoh sentral dalam desain peradaban manusia. Mereka sangat berpengaruh dalam kebijakan sebuah negara, tidak terkecuali negara super power seperti Amerika Serikat. Bahkan, sebagian dari mereka berhasil menjadi penguasa dengan sifat-sifat bawaan ala Erisychthon. Negara korporatokrasi menjadi wahana mereka mengatur kehidupan dengan logika untung rugi materi. Tata dunia semakin kokoh berporos pada kepentingan bisnis-ekonomi. Peradaban dunia dibangun dengan orientasi kepuasan survival instinct. Akibatnya, berbagai kerusakan menimpa umat manusia, termasuk mengancam ekosistem dunia.
Saya ingin memberi ilustrasi tingkat kerakusan para Erisychthon ini. Terungkap dalam perbicangan di sebuah pertemuan bergengsi di Davos pada tahun 2006. Forum ekonomi Davos merupakan pertemuan elit tahunan di Swiss yang biasanya dihadiri oleh puluhan kepala negara dan ribuan pebisnis terkemuka dunia. Ini merupakan pertemuan para saudagar yang sangat berpengaruh dan menentukan ekonomi dunia, bahkan masa depan peradaban ke depan. Dalam pertemuan tersebut orang-orang dari industri minyak membicarakan peluang baru yang dapat diberikan oleh global warming. Bagi mereka pemanasan global menyimpan berkah terpendam. Mencairnya es di kutub utara membuat minyak di bawah Laut Arktik lebih mudah diakses. Jadi, menurut mereka, hal ini merupakan oportunity untuk eksploitasi alam demi pundi-pundi dolar. Bayangkan, demi keuntungan material mereka tidak peduli dengan kerusakan bumi. Mustinya mereka paham dahsyatnya dampak global warming yang berpotensi menenggelamkan kota-kota besar dunia seperti New York, London dan beberapa kepulauan di laut Pasifik.
(The MODEL, bab Failure in Civilization, hal 94-95)

read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)