Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Rabu, 17 November 2010

AYAT AYAT JIHAD - SIAPA YG BERANI MENOLAK?

Rabu, 17 November 2010
0 komentar
Maka berperanglah kamu di Jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para Mukmin untuk berperang. Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan-Nya.
[Surah An-Nisa 4:84]

Sabda Rasulullah saw:

Dari Salamah bin Nufail Al-Kindy Radhiyallahu Ta'ala 'Anhu ia berkata:Aku duduk disisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu ada seorang berkata: "Wahai Rasulallah orang-orang sudah menambatkan kuda, mereka telah meletakkan senjata, mereka juga berkata,"Tidak ada jihad, perang telah berakhir." Maka Rasulallah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling menghadap orang itu dan berkata, "Mereka bohong! Sekarang, sekaranglah telah datang [zamannya] berperang! "Mereka bohong! Sekarang, sekaranglah perang akan tetap berterusan! Akan senantiasa ada sekelompok umat dari umatku, mereka berperang kerana kebenaran, dan Allah mencondongkan hati suatu kaum pada mereka dan memberi mereka rezeki dari kaum itu. Hingga datang hari kiamat dan hingga datang janji Allah. Padahal, pada ubun-ubun kuda terikat kebaikan hingga hari kiamat."

Abu Bakar As-Siddiq:
Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad melainkan Allah akan menimpakan kehinaan keatas mereka.

Ibnu Taimiyyah

Selepas iman, tiada apa yang lebih penting (wajib) dari menentang musuh-musuh yang mengganas, memusnahkan Islam dan kehidupan umat Islam."

Asy-Syahid Abdullah Azzam

Mereka yang percaya bahawa Islam boleh berkembang ke arah kejayaan tanpa Jihad, Peperangan dan Darah adalah sekadar bermimpi dan tidaklah mereka itu memahami sifat sebenar agama ini. Kehormatan seseorang Da'i, pengaruh Islam dan maruah serta harga diri umat Islam tidak akan dapat diperolehi tanpa Jihad.

Asy Syeikh Abu Abdillah Usaamah bin Laadin

Maka hendaknya bagi kaum muslimin dan ahlul halli wal aqdi serta para pakar dari kalangan para ulama yang tulus, saudagar-saudagar yang mukhlis dan para pemuka-pemuka (ketua-ketua) kabilah/kaum untuk berhijrah di jalan Allah dan mendapatkan tempat (bumi jihad) yang dapat meninggikan bendera jihad dan mengkondisikan umat untuk menjaga agama dan dunia mereka, namun jika mereka tidak melakukannya maka akan musnah segala-galanya dari mereka.

Asy Syeikh Aiman Azzawahiri

Oeh kerana itu wahai saudara-saudaraku kaum muslimin, berangkatlah kalian untuk berjihad dan janganlah kalian menjadi golongan khowalif (seakan wanita yang tidak ikut berperang). Berangkatlah berjihad dan janganlah kalian menjadi golongan qo'idun (orang-orang yang duduk-duduk tidak berjihad). Berangkatlah berjihad dan janganlah kalian menjadi golongan orang-orang yang merasa berat untuk berangkat.

Dokka Umarov @ Abu Utsman (Amirul Mukminin Kerajaan Islam Kaukasus)

Jadi mengapa kami mendeklarasikan perang melawan kekuatan superpower ini? Superpower yang menguasai berbagai negeri yang jika dibandingkan, sungguh kekuatan kita tidak bererti apa-apa? Tetapi mengapa (padahal kita sadar kekuatan kita tidak sebanding) kita mendeklarasikan perang ini? Kita mendeklarasikan perang, karena Allah memerintahkan kita, Allah memerintahkan kita agar menegakkan hukumNya dan hidup di bawah SyariatNya. Karena itu hari ini, ketika Allah telah memerintahkan kita untuk memerangi kaum kuffar, memerintahkan kita untuk menerjuni medan perjuangan ini, maka setiap kita harus ikut serta. Wajib bagi kita untuk menyertai dengan apa saja kemampuan kita. Bahkan jika kita tidak memiliki daya apapun, setidaknya berdoalah dengan tulus kepada Allah untuk menolong Jihad dan Mujahidin, setidaknya berilah dukungan terhadap Jihad dan Mujahidin, setidaknya Anda harus membenci dalam hati Anda ketika seorang kafir menindas seorang muslim dan menghalanginya untuk menyembah Allah semata-mata dengan merdeka, menegakkan Din, menyampaikan dakwah, dan hidup di bawah naungan Al Quran; Jika kita ada dalam kondisi sedemikian lemahnya sehingga tidak dapat ikut serta langsung dalam Jihad, maka kita wajib mendukung Jihad dan membela ahlinya, wajib membenci dan mencela orang-orang kafir, wajib berbicara tentang hal ini, tapi hari ini bahkan untuk bicara hal tersebut mereka menghalanginya! di sinilah letak seluruh penyimpangan itu.
Abu Umar Al-Baghdadi (Amirul Mukminin Kerajaan Islam Iraq)
Wahai mujahid yang gagah berani di penjara-penjara Thaghut, angkatlah kepalamu dan tertawalah dari hatimu yang paling dalam. Karena engkau memiliki saudara-saudara yang tidak rela engkau terus dizalimi. Mereka telah berjanji kepada Allah untuk mengembalikan kekuatan barisan mereka dengan kekuatan dan kekuasaan Allah semata.

Abu Musab Abdul Wadud (Amir Al-Qaeda di Maghribi)

Kemudian bagaimana kita tidak bersikap kasar terhadap mereka (golongan kafirin) atau kita tidak berupaya berperang melawan mereka sebagai bentuk pembalasan untuk ikhwan kami yang dibunuh dan ditangkap apalagi untuk memeranginya dalam rangka membela Dien ini serta melindungi keutuhan Islam dan kaum Muslimin, Allah Taala berfirman:

Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merosak sumpah (perjanjian gencatan senjata atau ikrar syahadah lailahaillallah), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi (mereka yang memulakan pembunuhan dan penangkapan) kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka (sehingga tidak berani memerangi mereka) padahal Allah lah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
[Surah At-Taubah ayat 13]

Asy-Syahid Ibnu Jarroh al Ghomidy Ahmad al Haznawy (Syuhada Manhattan Raid, Peristiwa 11 September)

Demi Allah dunia ini hina, ia hanyalah nikmat yang menipu. Kau cintai dunia ini bererti bukan dapat lari daripada mati dan pergi berjihad bukan berarti mendekati mati. Yang pasti, mati akan tiba, maka pilihlah mati yang bagaimana yang kau ingini. Apakah kamu ingin mati di atas tempat tidurmu seperti matinya unta di kandangnya? Atau kau memilih mati syahid iaitu cara kematian yang mulia setelah kau sahut panggilan-Nya dengan segera dan kau jujur dalam mencari syahid dalam rangka mencapai ridha Allah, yaitu syahid yang menjadi cita-cita setiap muslim yang cintakan agamanya setelah ia maju bergerak memukul musuh-musuh Allah dan membalas dendam untuk saudara-saudaranya dan agama (yang dibunuh atau ditangkap kuffar) . Lalu mana orang-orang yang bercita-cita tinggi? Yang memikul nyawanya untuk dipersembahkan kepada Rob mereka, maka golongan ini selalu berkata : Bawalah aku ke medan pertempuran itu supaya aku dapat menjual diriku ini demi agama ini?

Imam Samudera

Bagaimana antum katakan tidak ada dana, sedangkan Allah Maha kaya, mintalah pada Allah, mengemislah pada Allah, berdoalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh di sertai dengan amal usaha dan ikhtiar (bekerja semampunya ). Bagaimana pula di katakan tidak ada persenjataan, sedang bumi Allah ini luas, yang antum dapat lari ke segala arah untuk mendapatkannya,Bagaimana dikatakan tidak ada sesiapa yang mahu di ajak berjihad, sedangkan jihad itu walau seorang diri dapat di laksanakan:

Rasulullah SAW bersabda: Demi Allah, aku akan berperang seorang diri sampai leher ini terpisah dari badanku?(Riwayat Bukhari).

+++

Amanat Asy Syeikh Abu Ukkasyah Al A'rabi Hafizahullah
(Amir Tandzim Al-Qaeda Bahagian Asia Tenggara)

Wahai pemilik izzah (kemuliaan). Wahai mereka yang mengaku cinta kepada Allah Rabbul Jalil. Wahai kamu yang peduli akan ummah ini. Hijrahlah dan jihadlah di Pattani Darussalam. Dan kemudian, akan kita alirkan gerakan jihad ini keseluruh rantau asia tenggara insyaallah hingga akhirnya kita akan berpadu dengan Abu Abdillah Usamaah bin Laadin untuk membebaskan Al-Aqsa daripada cengkaman kekufuran. Bangunlah daripada lenamu. Bersihkan niatmu. Julang senjatamu setinggi langit dan laungkan takbir dengan pekikan yang menggentarkan musuh-musuhmu sehingga mereka (golongan kafirin dan murtadin) ini tahu bahawa esok sudah tidak ada lagi untuk mereka insyaallah.
Allahuakbar!

Copy - Paste Dari blog http://mp3jihad.blogspot.com/

tega kah kalian melihat alquran seperti ini,
ini adalah saksi kesombongan crushader, api dari mesiu amerika
bahkan mereka lebih parah dari yg kita lihat, saudaraku
bangkitlah
bangkitlah
bantu mereka
bantu mereka....
aku hanya bisa menulis, seperti ini.
hanya bisa bersedih dan tak bisa apa apa...
karena kita pecah belah

read more

Penjelasan Amir Hizbut Tahrir Asy Syaikh Atho’ Abu Rusytah Seputar Hukum Lukisan

0 komentar
Oleh : Titok Priastomo

Saya melihat banyak syabab yang mengunggah gambar membuat animasi di internet. Ada baiknya menyimak penjelasan Amir berikut ini, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menkaji bersama, siapa tahu ada yang bisa kita ambil dari penjelasan Amir ini : -)

Penjelasan Amir Hizb Seputar Hukum Lukisan

Asy Syaikh Atho’ Abu Rusytah –amir Hizbut tahrir- ditanya seputar masalah gambar oleh seorang pemuda, pertanyaannya sebagai berikut:

Saya menjalani profesi yang berkaitan dengan gambar. Melalui profesi yang saya tekuni itu saya bersentuhan dengan beberapa aktivitas berikut:

* Memodivikasi gambar dan mengoreksinya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
* Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi
* Menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis sendiri
* Menggambar simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”)
* Menggambar bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
* Menggambar tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan

Saya mengharapkan penjelasan hukum syara’ mengenai aktivitas-aktivitas tersebut, wa barakaLlaahu fiikum!
Jawaban Asy Syaikh Abu Rusytah sebagai berikut:

Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami ingin menegaskan dua hal berikut:

yang pertama: bahwa jawaban ini membahas tentang hukum syara’ atas perbuatan melukis, atau menggambar dengan tangan, sebagaimana makna yang dikehendaki di dalam hadits, bukan menghasilkan gambar dengan kamera. Adapun mengambil gambar dengan kamera maka hukumnya mubah karena hadits yang ada tidak bisa diterapkan terhadap perbuatan tersebut.

Yang kedua: Bahwa jawaban ini membahas tentang hukum syara’ atas gambar datar dua dimensi yang tidak memiliki bayangan. Adapun membuat karya yang memiliki bayangan, atau patung, maka dia haram dalam segenap kondisinya karena adanya dalil-dalil syara’ mengenai hal tersebut, dengan pengecualian mainan anak-anak karena adanya dalil yang membolehkannya, sebagaimana nanti akan dijelaskan pada akhir jawaban.

Terkait dengan dua pertanyaan:

* Memodivikasi gambar dan mengoreksinya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)

* Menggambar lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan

Sesungguhnya dua pertanyaan ini berkaitan dengan menggambar sesuatu yang memiliki nyawa (ruh), atau melakukan editing terhadap gambar makhluq bernyawa dengan menggunakan tangan seperti menghilangkan keriput atau beberapa ciri di wajah. Dengan demikian, pengharaman yang terdapat dalam dalil-dalil syara’ dapat diterapkan dalam kasus ini, sama saja apakah hal tersebut dilakukan dengan pena, dengan mouse di computer, selama pekerjaan menggambar itu dilakukan oleh tangan manusia terhadap makhluq yang bernyawa, maka keharaman yang ada pada dalil berlaku atas aktivitas tersebut. Al Bukhori mengeluarkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas –Allah meridhoi keduanya- yang berkata: “Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “barang siapa melukis suatu gambar maka Allah akan mengadzabnya sampai dia mampu meniupkan ruh ke dalam gambar itu, padahal sampai kapan pun dia tidak akan mampu meniupkan ruh ke dalamnya”. Al Bukhori juga mengeluarkan hadits dari jalan Ibnu Umar –semoga Allah meridhoi keduanya- bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,”sesungguhnya orang yang telah membuat gambar ini akan disiksak pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka “coba hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!”.

Mengenai dua pertanyaan:

* Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi
* Menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis sendiri
Dengan kata lain, penanya mengambilnya dari orang lain, tidak menggambarnya sendiri. Dengan demikian, di sini berlaku hukum menggunakan gambar. Dalam hal ini terdapat tiga macam hukum:

Pertama: Apabila anda mengambil gambar itu untuk diletakkan di tempat-tempat ibadah, seperti tempat sujud untuk sholat, atau tirai masjid, iklan (di’aayah) atau pengumuman (i’laan) masjid dan semacamnya, maka itu haram, tidak dibolehkan.
Dalilnya adalah:

Hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau memasukki Ka’bah sehingga gambar-bambar di dalamnya dihapus. Penolakkan Rasul shollalaahu ‘alaihi wa sallam untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar di dalamnya dihapus merupakan indikasi adanya larangan tegas untuk meletakkan gambar di tempat-tempat ibadah, maka itu menjadi dalil atas haramnya menaruh gambar di dalam masjid. Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu : Bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau masuk ketika melihat gambar-gambar di dalam rumah –yaitu Ka’bah- , dan memerintahkan agar ia dihapus”.

Kedua: Adapun jika penanya mengambil gambar yang tidak dia gambar sendiri untuk diletakkan di tempat-tempat tertentu selain tempat ibadah, maka dalil-dalil syara’ menjelaskan bahwa itu dibolehkan –dengan disertai kemakruhan (dibenci oleh syara’ –pent) jika gambar itu diambil dan diletakkan di tempat-tempat yang mengandung penghormatan atau pemuliaan, seperti di rumah-rumah, media-media informasi lembaga-lembaga kebudayaan, di kaos atau pakaian, di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, dan di tempat-tempat terbuka lain yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas ibadah, atau digantung di dalam kamar atau dikenakan dalam rangka mempermanis penampilan, maka semua itu hukumnya dibenci (makruuh).

Yang mubah adalah jika gambar diletakkan bukan di tempat ibadah dan bukan tempat yang “terhormat”, seperti karpet yang digelar di bawah, di atas kasur dimana orang tidur di atasnya, atau di bantal yang digunakan untuk bersandar, atau gambar yang ada di lantai yang diinjak-injak dan yang semisalnya, maka semua tu hukumnya mubah. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

Hadits dari Abu Tholhah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafadz : aku mendengar Raulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “”Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.”; Dalam sebuah riwayat dari sebuah jalan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda “kecuali gambar yang ada di pakaian” Ini menunjukkan adanya pengecualian terhadap gambar yang ada di pakaian, atau gambar yang dilukis.
Ini menunjukkan bahwa gambar dua dimensi seperti gambar yang dilukis di pakaian hukumnya boleh, Sebab malaikat bersedia memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar dua dimensi. Akan tetapi ada pula hadits-hadits lain yang menjelaskan jenis kemubahan ini:

Hadits dari Aisyah Radiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al Bukhori, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menuju saya sementara di dalam rumah terdapat tirai tipis bergambar, maka warna wajah beliau berubah, kemudian mengambil tirai itu dan merobeknya”

Qirom (kain tipis) merupakan salah satu jenis pakaian yang biasa dipasang sebagai penutup pintu di dalam rumah, hal itu membuat rona wajah Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam berubah (marah) kemudian melepas tirai tersebut. Ini menunjukkan adanya contoh untuk meninggalkan perbuatan memasang tirai sebagai penutup pintu apabila ia bergambar. Apabila hadits ini dikaitkan dengan kebolehan malaikat untuk memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar yang terlukis di pakaian, maka hal tersebut menunjukkan bahwa larangan untuk memajang gambar dua dimensi itu tidak tegas, atau sekedar dibenci (makruuh), dan juga karena gambar tersebut dipasang sebagai penutup pintu, sedang pintu adalah tempat yang terhormat, dengan demikian, memasang gambar di tempat yang terhormat adalah makruh.

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dari perkataan Jibril ‘alaihis salaam kepada Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam : “perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak,”. Dengan demikian, Jibril ‘alaihis salam telah memerintahkan kepada rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan turai bergambar dari tempat yang terhormat, dan agar ia dijadikan sebagai dua bantal yang diinjak. Ini berarti, menggunakan gambar yang digambar oleh orang lain di tempat-tempat yang tidak dihormati adalah boleh.

Terkait dengan dua pertanyaan:

* Menggambar simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”)
* Menggambar bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)

Jawaban untuk dua pertanyaan ini adalah sebagai berikut:

Apabila tanda yang dilukis menggambarkan makhluq bernyawa maka dia haram, sebab hadits-hadits mengharamkan gambar yang menunjukkan adanya sifat memiliki ruh (nyawa). Sifat ini dapat diterapkan kepada setiap gambar makhluq secara utuh maupun, separuh saja, gambar kepala yang disambung dengan bagian tubuh lain seperti kedua tangan dan semisalnya.

Adapun apabila tanda (rambu)nya tidak menunjukkan adanya nyawa, seperti tangan saja, atau gambar jari yang menunjuk kepada sesuatu atau dua tangan yang saling bersalaman atau yang semisalnya, maka keharaman tidak bisa diterapkan terhadapnya.

Adapun gambar kepala yang tidak digabung dengan angggota badang yang lain, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Dan yang paling kuat adalah bahwa kepadala saja yang tidak digabung dengan bagian tubuh lain adalah tidak haram. Itu karena ada hadits yang membolehkan untuk memotong kepada patung sehingga tersesa seperti pohon, seperti halnya hadits Abu Hurairah ra. Yang di dalamnya terdapat perkataan Jibril alaihis salam kepada Rasulullah shollalallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa patung itu tidak lagi haram ketika kepalanya dipotong. ..”.. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon ..” dikeluarkan oleh Ahmad. Hadits ini berarti bahwa sisa patung dan kepalanya ketika telah dipotong sama-sama tidak haram. Dan ini tidak berarti bahwa yang tidak diharamkan adalah badan patung yang kepalanya sudah terpotong, sedangkan kepala yang terpotong tetap haram. Tidak demikian karena perintah Jibril kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kepala patung menunjukkan bahwa pemotongan itu hukumnya boleh. Dengan demikian, segala hal yang menjadi konsekuensinya/ikutannya adalah boleh.

Dan harap diketahui, bahwa Hanabilah (hambaliyah) dan Malikiyah membolehkan kepala saja, sedangkan Syafi’iyyah mengalami perbedaan pendapat. Sebagian besar ahli fiqh syafiiyyah menyatakan bahwa gambar kepala saja adalah haram, sementara yang lain membolehkannya.

Adapun terkait dengan dua soal yang terakhir:

* Menggambar lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
* Menggambar tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan

Jawabnya adalah bahwa sesungguhnya selama gambar itu menunjukkan adanya ruh (nyawa) meskipun tidak ada persamaannya di dalam kenyataan, itu tetap haram. Sebab, nash-nash syara’ dapat diterapkan terhadap kasus tersebut. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa untuk melepas tirai yang terpasang di pintu yang bergambar kuda yang memiliki sayap. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kuda yang memiliki sayap.

Iamam Muslim mengeluarkan hadits dari Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari safar sementara aku menutupi pintuku dengan durnuk yang terdapat gambar kuda-kuda yg memiliki sayap. Maka beliau memerintahkan aku utk mencabut tabir tersebut maka akupun melepasnya” sementara durnuk merupakan salah satu jenis pakaian.

Kemudian, saya hendak mengulang kembali apa yang telah saya ungkapkan di awal, bahwa gambar yang diharamkan adalah gambar yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Adapun jika diperuntukkan bagi anak-anak, seperti gambar karikatur untuk anak-anak, atau gambar tokoh imajiner untuk anak-anak, untuk permainan atau hiburan mereka, atau untuk pendidikan mereka. Semua itu hukumnya boleh karena adanya dalil yang menyebutkan hal tersebut:
Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata: Suatu hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- pulang dari perang tabuk atau perang khoibar. (Saat itu) lemari kecil Aisyah tertutup tirai, lalu berhembuslah angin, yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah banyak mainan boneka wanita milik Aisyah. Beliau bertanya: “Apa ini, wahai Aisyah?”, ia menjawab: “Anak-anak perempuanku”.

Hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Al Bukhori, dia berkata, “aku bermain dengan anak-anak perembuanku (boneka) di sisi Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.. “ yaitu bermain dengan boneka berbentuk anak-anak perempuan.
Demikian juga dengan hadits Ar Robii’ binti Ma’awwid Al Anshoriyyah rodhiyallaahu ‘anhaa yang dikeluarkan oleh Al Bukhori dia berkata, “Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka”. Maksudnya, menghibur mereka dengan mainan, sampai tiba waktu berbuka.
Semua hadits itu membolehkan mainan anak-anak bahkan seandainya mainan itu berbentuk patung makhluk yang memiliki nyawa. Atas dasar itu, merupakan hal yang lebih utama jika gambar datar dua dimensi adalah boleh, bagaimana pun bentuknya.

12 Syawal 1431 H

Bertepatan dengan 21 September 2010

Diterjemahkan dari : http://hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3249

read more

Selasa, 16 November 2010

Tatacara Kurban/Qurban Idul Adha

Selasa, 16 November 2010
0 komentar
Berqurban adalah menyembelih hewan qurban/udh-hiyah/ternak (Unta, Sapi/Kerbau, Kambing, dan Domba) setelah shalat Iedul Adha dan hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Dasar perintahnya adalah:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” [Al Kautsar 2]
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Al Hajj 34]
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari ra. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat.
Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Dasar memotong hewan Kurban pada Hari Raya Haji bersumber dari sunnah Nabi Ibrahim dan Ismail. Karena ketakwaannya yang dalam, mereka rela menjalankan perintah Allah meski itu berarti harus mengorbankan anak yang tersayang dan diri sendiri.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya.
Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian” [Ash Shaaffaat 102-108]
Kita harus senantiasa bertakwa, yaitu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, agar kurban kita mendapat ridho Allah.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…[Al Hajj 37]

Hewan kurban tidak boleh disembelih sebelum sholat Iedul Adha. Tapi dilakukan setelah shalat.
Jundab Ibnu Sufyan ra berkata: Aku mengalami hari raya Adlha bersama Rasulullah SAW Setelah beliau selesai sholat bersama orang-orang, beliau melihat seekor kambing telah disembelih. Beliau bersabda: “Barangsiapa menyembelih sebelum sholat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi sebagai gantinya; dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia menyembelih dengan nama Allah.” Muttafaq Alaihi.
Hewan Kurban tidak boleh cacat (buta meski cuma sebelah, ompong, pincang, tua, atau robek telinganya). Harus sempurna, cukup umur, dan tidak sakit. Jangan pula terlalu kurus sehingga terlihat jelas tulang rusuknya.
Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ra berkata: Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: “Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas sakitnya, tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersum-sum.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Ali ra berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kami agar memeriksa mata dan telinga, dan agar kami tidak mengurbankan hewan yang buta, yang terpotong telinga bagian depannya atau belakangnya, yang robek telinganya, dan tidak pula yang ompong gigi depannya. Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Jabir meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadis riwayat Uqbah bin Amir ra.:
Bahwa Rasulullah saw. memberinya kambing-kambing untuk dibagikan kepada para sahabat sebagai kurban. Lalu tinggallah seekor anak kambing kacang. Uqbah melaporkannya kepada Rasulullah saw. maka beliau bersabda: Sembelihlah itu olehmu! Perkataan Qutaibah kepada kawannya. (Shahih Muslim No.3633)
Umur minimal untuk Unta=5 tahun, Sapi=2 tahun, Kambing=1 tahun, dan domba=6 bulan.
Hewan qurban sebaiknya dihabiskan dalam waktu 3 hari agar terjadi pemerataan (orang-orang miskin juga kebagian).
Hadis riwayat Ali bin Abu Thalib ra.:
Dari Abu Ubaid, ia berkata: Aku pernah salat Idul Adha bersama Ali bin Abu Thalib ra. Beliau memulai dengan salat terlebih dulu sebelum khutbah dan beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang kami makan daging kurban sesudah tiga hari. (Shahih Muslim No.3639)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Seseorang tidak boleh makan daging kurbannya lebih dari tiga hari. (Shahih Muslim No.3641)
Setelah ummat Islam makmur, Nabi menghapus larangan di atas:
Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.:
Dari Nabi saw. beliau melarang makan daging kurban sesudah tiga hari. Sesudah itu beliau bersabda: Makanlah, berbekal dan simpanlah. (Shahih Muslim No.3644)
Hadis riwayat Salamah bin Akwa` ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa di antara kalian menyembelih kurban, maka janganlah ia menyisakan sedikitpun di rumahnya sesudah tiga hari. Pada tahun berikutnya, orang-orang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah kami harus berbuat seperti tahun lalu? Rasulullah saw. menjawab: Tidak! Tahun itu (tahun lalu) kaum muslimin masih banyak yang kekurangan. Jadi aku ingin daging kurban itu merata pada mereka. (Shahih Muslim No.3648)
Nabi menyuruh kita menghabiskan daging kurban  dalam waktu 3 hari kurang karena dulu ummat Islam banyak yang melarat. Saat ini pun di Indonesia seperti itu. Oleh karena itu kita bisa mengikuti sunnah Nabi di atas.
Untuk sapi orang bisa berserikat untuk 7 orang, dan unta untuk 10 orang:
Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
Pada tahun Hudaibiah kami berkurban bersama Rasulullah saw. dengan seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang pula. (Shahih Muslim No.2322)
Dari Ibnu Abbas ra beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah SAW lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Ibnu Majah 2536)
Sunah berkurban dan menyembelih sendiri, tanpa mewakilkan, serta menyebut nama Allah dan takbir
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Nabi saw. berkurban dengan dua ekor kibas berwarna putih agak kehitam-hitaman yang bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri, seraya menyebut asma Allah dan bertakbir (bismillahi Allahu akbar). Beliau meletakkan kaki beliau di atas belikat kedua kambing itu (ketika hendak menyembelih). (Shahih Muslim No.3635)
Nabi membeli hewan Kurban/Domba seharga 1 dinar (4,25 gram emas 22 karat / sekitar Rp 1,4 juta).
Dari Urwah al-Bariqy ra bahwa Rasulullah SAW pernah mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan beliau hewan qurban.” [Bukhari]
Bolehkah orang yang berkurban memakan hewan kurban? Jawabannya boleh. Ummat Islam dulu biasa membagi daging kurban sebanyak 3 bagian. 1/3 untuk keluarga mereka, 1/3 sebagai hadiah bagi orang yang mampu, dan 1/3 lagi bagi fakir miskin.
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” [Al Hajj 28]
“… Kemudian apabila telah mati, maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta…” [Al Hajj 36]
Tukang jagal mendapat bagian/upah dari orang yang berkurban. Jadi tidak mengambil hak fakir miskin dan yang lainnya. Ada pun daging, kulit, serta bagian-bagian terbaik lain harus disedekahkan.
Hadis riwayat Ali ra., ia berkata:
Rasulullah saw. pernah menyuruhku untuk mengurusi hewan kurbannya, menyedekahkan dagingnya, kulitnya serta bagian-bagiannya yang terbaik dan melarangku memberikannya kepada tukang jagal. Beliau bersabda: Kita akan memberinya dari yang kita miliki. (Shahih Muslim No.2320)
Ali r.a. berkata, “Nabi menyerahkan kurban seratus ekor unta lalu menyuruh saya. Kemudian saya mengurus kurban-kurban tersebut. Lalu beliau menyuruh saya membagi-bagikan dagingnya, pelananya, dan kulitnya. Juga agar saya tidak memberikan sedikitpun sebagai upah penyembelihannya.”[HR Bukhari]
Cara Nabi menyembelih hewan kurban:
Dari Anas Ibnu Malik ra bahwa Nabi SAW biasanya berkurban dua ekor kambing kibas bertanduk. Beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan beliau meletakkan kaki beliau di atas dahi binatang itu. Dalam suatu lafadz: Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri. Dalam suatu lafadz: Dua ekor kambing gemuk. – Dalam suatu lafadz riwayat Muslim: Beliau membaca bismillahi wallaahu akbar.” [Bulughul Marom]
Menurut riwayatnya dari hadits ‘Aisyah ra bahwa beliau pernah menyuruh dibawakan dua ekor kambing kibas bertanduk yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Maka dibawakanlah hewai itu kepada beliau. Beliau bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, ambillah pisau.” Kemudian bersabda lagi: “Asahlah dengan batu.” ‘Aisyah melaksanakannya. Setelah itu beliau mengambil pisau dan kambing, lalu membaringkannya, dan menyembelihnya seraya berdoa: “Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya.” Kemudian beliau berkurban dengannya. [Bulughul Marom]
Boleh menyembelih dengan apa saja yang dapat menumpahkan darah, kecuali gigi, kuku dan tulang
Hadis riwayat Rafi` bin Khadij ra., ia berkata:
Saya berkata kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasulullah, kami akan bertemu musuh besok sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Rasulullah saw. bersabda: Segerakanlah atau sembelihlah dengan apa saja yang dapat menumpahkan darah dan sebutlah nama Allah, maka engkau boleh memakannya selama alat itu bukan gigi dan kuku. Akan kuberitahukan kepadamu: Adapun gigi maka itu adalah termasuk tulang sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah. Kemudian kami mendapatkan rampasan perang berupa unta dan kambing. Lalu ada seekor unta melarikan diri. Seseorang melepaskan panah ke arah unta itu sehingga unta itupun tertahan. Rasulullah saw. bersabda: Memang unta itu ada juga yang liar seperti binatang-binatang lain karena itu apabila kalian mengalami keadaan demikian, maka kalian dapat bertindak seperti tadi. (Shahih Muslim No.3638)
Menyembelih unta dalam keadaan berdiri dan terikat
“..Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)…” [Al Hajj 36]
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa ia menghampiri seorang lelaki yang sedang menyembelih untanya dalam keadaan menderum lalu ia (Ibnu Umar) berkata: Bangunkanlah agar dalam keadaan berdiri dan terikat karena demikianlah sunah Nabi kamu sekalian. (Shahih Muslim No.2330)
Tempat Kurban:
“Dahulu Rasulullah SAW biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Tata Cara Penyembelihan
  • Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
  • Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
  • Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
  • Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
  • Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
    • hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
    • hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
    • Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)”
Sumber:
Hadits Web 3.0 yang bisa didownload di www.media-islam.or.id


read more

Ukhti... Berjilbablah... Masihkah Ini yang Kau Ucapkan ”Insya Allah, yang penting hati dulu yang berjilbab.”... ? ? ?

0 komentar
Ada seorang wanita yang dikenal taat beribadah. Ia kadang menjalankan ibadah sunnah. Hanya satu kekurangannya, Ia tak mau berjilbab. Menutup auratnya. Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum dan menjawab ”Insya Allah yang penting hati dulu yang berjilbab. ” Sudah banyak orang menanyakan maupun menasehatinya. Tapi jawabannya tetap sama.
Hingga di suatu malam. Ia bermimpi sedang di sebuah taman yang sangat indah. Rumputnya sangat hijau, berbagai macam bunga bermekaran. Ia bahkan bisa merasakan segarnya udara dan wanginya bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih hingga dasarnya kelihatan, melintas dipinggir taman. Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya.

Ia tak sendiri. Ada beberapa wanita disitu yang terlihat juga menikmati keindahan taman. Ia pun menghampiri salah satu wanita. Wajahnya sangat bersih seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut.

“Assalamu'alaikum, saudariku....”

“Wa'alaikum salam. Selamat datang saudariku”

“Terima kasih. Apakah ini surga?”

Wanita itu tersenyum. “Tentu saja bukan, saudariku. Ini hanyalah tempat menunggu sebelum ke surga ”

“Benarkah? Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja sudah seindah ini. ”

Wanita itu tersenyum lagi ”Amalan apa yang bisa membuatmu kemari, saudariku ?”

“Aku selalu menjaga waktu shalat dan aku menambahnya dengan ibadah sunnah. ”

“Alhamdulillah..”


Tiba-tiba jauh di ujung taman ia melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka. Dan ia melihat beberapa wanita yang berada di Taman mulai memasukinya satu-persatu.

“Ayo kita ikuti mereka” kata wanita itu setengah berlari.

“ Apa di balik pintu itu?” Katanya sambil mengikuti wanita itu

“ Tentu saja surga saudariku” larinya semakin cepat

“ Tunggu..tunggu aku..”

dia berlari namun tetap tertinggal Wanita itu hanya setengah berlari sambil tersenym kepadanya. Ia tetap tak mampu mengejarnya meski ia sudah berlari. Ia lalu berteriak

“Amalan apa yang telah kau lakukan hingga engkau begitu ringan ?”

“Sama dengan engkau saudariku.” jawab wanita itu sambil tersenyum

Wanita itu telah mencapai pintu. Sebelah kakinya telah melewati pintu. Sebelum wanita itu melewati pintu sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu.

“ Amalan apalagi yang kau lakukan yang tidak kulakukan ?”

Wanita itu menatapnya dan tersenyum. Lalu berkata

“Apakah kau tak memperhatikan dirimu, apa yang membedakan dengan diriku ?”

Ia sudah kehabisan napas, tak mampu lagi menjawab.

“ Apakah kau mengira Rabbmu akan mengijinkanmu masuk ke Surga-NYa tanpa jilbab menutup auratmu ?”

Tubuh wanita itu telah melewati pintu, tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar, memandangnya dan berkata

”Sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini untuk dirimu. Cukuplah surga hanya sampai hatimu karena niatmu adlah menghijabi hati.”

Ia tertegun..lalu terbangun..beristighfar lalu mengambil air wudhu. Ia tunaikan shalat malam. Menangis dan menyesali perkataanya dulu.. berjanji pada Allah sejak saat itu ia akan menutup auratnya.


Sumber : klik aja

read more

Rabu, 03 November 2010

Jangan Menambah Bencana dengan Menerima Obama

Rabu, 03 November 2010
1 komentar
 INDONESIA MenangisIndonesia Berduka. Itulah di antara headline (judul utama) beberapa media cetak maupun televisi di Tanah Air.

Ya, negeri ini pantas menangis dan layak berduka. Belum lama rasa sedih hilang dari ingatan akibat bencana kecelakaan kereta di Pemalang yang menewaskan puluhan orang dan puluhan lainnya terluka, tiba-tiba muncul banjir bandang dan longsor di Wasior-Papua yang menewaskan lebih dari 100 orang, dan puluhan lainnya dinyatakan hilang, selain ratusan bangunan luluh-lantak.

Belum juga isak-tangis bangsa ini berhenti, sekitar dua pekan lalu Kota Jakarta lumpuh total karena kemacetan luar biasa terjadi di sebagian ruas jalan Ibukota karena banjir dan genangan air di mana-mana. Belum tuntas Pemerintah mengevakuasi dan menyelamatkan penduduk di Wasior dan membenahi akibat banjir di Jakarta, tiba-tiba datang pula gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai, yang mengakibatkan lebih dari 400 orang meninggal, dan ratusan lainnya dinyatakan hilang.

Seolah ‘belum puas’, alam kembali datang menghantam negeri ini. Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus, memuntahkan lahar panas. Akibatnya, puluhan orang kembali tewas dan luka-luka, sementara sebagian lain terpaksa hidup di pengungsian.

Jika dihitung sejak bencana ‘mahadahsyat’, yakni Tsunami Aceh di akhir tahun 2004 yang menewaskan ratusan ribu orang, hingga tahun 2010 ini, negeri ini memang pantas disebut dengan ‘negeri bencana’. Ironisnya, Pemerintah selaku pengurus rakyat, selalu saja terkesan lamban dan kurang tanggap. Padahal sudah jelas sejumlah wilayah-bahkan  menurut penelitian Walhi mencapai 83 persen-di Indonesia rawan bencana, termasuk bencana lingkungan (ekologis). Sekitar 150 kabupaten/kota di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua, juga rawan diterjang tsunami (Kompas, 2/11/10). Namun, Pemerintah seperti tidak serius melakukan antisipasi. Misal, meski ada Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB), banyak daerah yang belum mempunyai Badan Penanggulangan Bencana. Dari 479 kabupaten/kota di Indonesia, hanya ada 171 yang sudah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Dearah (BPBD) (Kompas, 2/11/10).  Selain itu, anggaran Pemerintah dalam APBN selama ini juga kecil. Dalam APBN 2010, misalnya, anggaran untuk penanggulangan bencana hanya Rp 3,9 triliun. Dari jumlah tersebut, menurut Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, saat ini dana siap pakai (on call) yang tersedia di BNPB hanya mencapai Rp 50 miliar (Pelita, 28/10/10).


Dua Macam Bencana

Jika kita cermati, ada 2 (dua) macam bencana: bencana alam dan bencana kemanusiaanBencana alam terjadi memang murni karena faktor alam. Misal: Gempa bumi, tsunami, gunung meletus, kekeringan karena kemarau panjang, dll. Bagi seorang Mukmin, bencana alam merupakan cobaan/ujian atas kesabaran:

وَلَنَبلُوَنَّكُم بِشَيءٍ مِنَ الخَوفِ وَالجوعِ وَنَقصٍ مِنَ الأَموٰلِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرينَ ﴿١٥٥﴾

Sungguh Kami akan menimpakan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan;  sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS al-Baqarah 155).

Adapun bencana kemanusiaan terjadi memang karena ulah manusia. Intinya, manusialah sesungguhnya yang-sadar ataupun tidak-‘mengundang’ datangnya bencana atas mereka. Bencana banjir dan longsor, misalnya, adalah akibat hutan terus mereka gunduli. Kecelakaan kereta api yang terus terjadi-rata-rata 6 hari sekali selama 2009-2010 saja (Berdikarionline.com, 4/1/10) adalah akibat Pemerintah tetap lalai menyediakan sarana transportasi yang aman. Bencana kemiskinan dan rawan pangan/gizi buruk adalah akibat Pemerintah terus menyerahkan kekayaan alam milik rakyat kepada pihak asing melalui program privatisasi. Jangan dilupakan juga sejumlah bencana kemanusiaan lain seperti maraknya kasus korupsi, kerusakan moral remaja, tingginya angka kriminalitas, mewabahnya penyakit kelamin dan AIDS akibat pergaulan bebas, meningkatnya akan pengangguran dan angka putus sekolah, dan masih banyak yang lainnya. Semua bencana kemanusian ini pada dasarnya adalah akibat ulah manusia yang terus-menerus melakukan berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan sang Pencipta, Allah SWT. Mereka bahkan tetap enggan menerapkan hukum-hukum (syariah)-Nya. Bagi seorang Muslim, berbagai bencana ini harus dipahami sebagai peringatan/teguran dari Allah SWT agar segera kembali (taat) kepada-Nya:

ظَهَرَ الفَسادُ فِى البَرِّ وَالبَحرِ بِما كَسَبَت أَيدِى النّاسِ لِيُذيقَهُم بَعضَ الَّذى عَمِلوا لَعَلَّهُم يَرجِعونَ ﴿٤١﴾

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah (kemasiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat ulah meeka  itu agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).


Mewaspadai Bencana Baru

Selain karena merupakan akibat manusia yang tetap enggan menerapkan syariah Allah SWT, berbagai bencana kemanusiaan yang terjadi di dunia, termasuk di negeri ini, sebetulnya karena penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Barat, khususnya AS, sebagai pengemban utama Kapitalisme global. AS-lah, dengan sekutu-sekutunya, yang nyata-nyata telah menciptakan bencana kemanusiaan di Irak, Afganistan dan Pakistan sampai hari ini. AS pun terus mendukung secara penuh penjajahan Israel  di Palestina sekaligus membunuhi ratusan ribu penduduknya selama puluhan tahun. AS pula yang sejak berdirinya hingga kini menciptakan berbagai konflik, bahkan melakukan aksi militer langsung, di berbagai  negara. AS pun telah membunuh serta memenjarakan dan menyiksa ribuan Muslim di seluruh dunia-termasuk  di negeri ini melalui tangan para agennya-hanya  karena mereka disangka teroris.

AS pula yang saat ini, langsung ataupun tidak langsung (antara lain melalui IMF, Bank Dunia, USAID), melakukan penjajahan baru (terutama penjajahan ekonomi) atas Indonesia. Akibatnya, melalui sejumlah modus penjajahan AS, termasuk lewat legislasi UU di DPR, berusaha terus menguras habis kekayaan alam negeri ini (minyak, gas, emas, perak, dan barang tambang lain) melalui perusahaan-perusahaan mereka seperti Freeport, Exxon Mobile, dll. Tambang emas di Papua dikeruk oleh PT Freeport dan 90% keuntungannya masuk ke AS. Blok Natuna yang diperkirakan memiliki kandungan gas hingga 222 TCF (triliun kubik kaki), 76%-nya dimiliki oleh ExxonMobile. Blok Cepu yang diprediksi memiliki kandungan minyak lebih dari 600 juta barel sehingga bisa menjadi andalan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia, 45%-nya juga dimiliki oleh ExxonMobile. Selain itu, masih banyak perusahaan major AS yang secara keseluruhan menguasai 90% minyak dan  gas, seperti Total Fina Elf, BP Amoco Arco, Texaco, Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex.

Terkait dengan ini, buku The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalismkarangan wartawati Kanada, Naomi Klein, yang diterbitkan Penguin Books, London, Inggris (2007), mengungkap secara gamblang bagaimana kaum kapitalis (tentu saja dengan AS sebagai gembongnya, pen.) melakukan aksi-aksi jahatnya terhadap bangsa dan negara lain. Buku ini pun menyebut krisis moneter Asia 1997 sebagai hasil desain kaum kapitalis karena mereka ingin menguasai aset-aset strategis di kawasan itu, mencaplok aset-aset perusahaan nasional Asia yang tumbuh meraksasa dan hendak menggulingkan rezim-rezim yang berubah kritis, seperti Soeharto di Indonesia. Ketika Indonesia dan Asia akhirnya lunglai karena krisis moneter, IMF datang menawarkan obat dengan syarat liberalisasi pasar. Hasilnya, hanya dalam 20 bulan, perusahaan-perusahaan multinasional asing berhasil menguasai perekonomian Indonesia, Thailand, Korea Selatan, Filipina dan juga Malaysia lewat 186 merger dan akuisisi perusahaan-perusahaan besar di negara-negara ini. “Ini adalah pengalihan aset dari domestik ke asing terbesar dalam limapuluh tahun terakhir,” kata ekonom Robert Wade.

Itulah ‘secuil’ bencana kemanusiaan yang telah diciptakan AS atas Dunia Islam, termasuk di negeri ini.


Menerima Obama: Mengundang Bencana

Karena itu, jika kemudian Pemerintah dalam waktu dekat akan menerima kedatangan Obama-Presiden AS sang penjajah-di  Tanah Air, jelas Pemerintah seperti sedang “mengundang” bencana baru. Pasalnya, sebagai pemimpin negara penjajah, Presiden AS Obama tentu bakal makin mengokohkan penjajahan barunya atas negeri ini. Apalagi sebelum kedatangan Obama Pemerintah sudah menandatangani kerjasama kemitraan menyeluruh dengan AS.

Kemitraan menyeluruh dengan negara penjajah seperti AS tentu harus dibaca sebagai penjajahan menyeluruh AS atas negeri ini. Pasalnya, kemitraan Indonesia-AS ini mencakup kerjasama kedua negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, pembangunan, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kenyataannya, sebelum ini pun setiap kesepakatan atau perjanjian kerjasama Indonesia dengan AS sesungguhnya lebih merupakan penjajahan AS atas negeri ini. Di bidang ekonomi, Amerika, misalnya, memfasilitasi bantuan (baca: utang luar negeri) untuk sekaligus mendorong pembangunan berbasis investasi asing di Indonesia. Dengan cara ini, Amerika menjebak Indonesia dalam perangkap utang (debt trap) sehingga negeri ini mudah didikte bahkan hingga “bertekuk lutut”.

Di bidang keamanan, Indonesia meneken kerjasama dalam penanggulangan terorisme. AS bahkan mengucurkan bantuan dana untuk Indonesia sebagai bagian dari proyek Perang Melawan Terorisme. Hasilnya, melalui aparat Densus 88, sejumlah Muslim ditangkap dan ditembak di tempat hanya karena disangka teroris. Di sisi lain, proyek Perang Melawan Terorisme ala AS ini terbukti hanya demi memenuhi ambisi politik AS, yakni  menguasai berbagai negeri Islam, seperti Irak dan Afganistan, sekaligus mencegah kebangkitan Islam, termasuk di Tanah Air.

Inilah yang perlu disadari oleh bangsa ini, terutama penguasa dan elit-elit politiknya. Oleh karena itu, tentu sangat menyedihkan jika kaum Muslim yang mayoritas di negeri ini sampai membiarkan Obama-presiden negara penjajah, AS-menginjakkan kakinya di negeri ini; apalagi jika sampai mereka menerima dan menyambutnya dengan penuh kehangatan. Jika ini yang terjadi, sungguh ini adalah sebuah kemaksiatan di sisi Allah SWT sekaligus merupakan ‘bencana lain’ bagi bangsa dan negeri ini. Allah SWT berfirman:

فَاعلَم أَنَّما يُريدُ اللَّهُ أَن يُصيبَهُم بِبَعضِ ذُنوبِهِم

Ketahuilah bahwa Allah benar-benar menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

Na’udzu billah min dzalik. []

KOMENTAR AL-ISLAM:
Batalkan Penjualan Saham KS (Krakatau Steel) (Republika, 2/11/2010)
Penjualan KS yang notebene milik rakyat adalah bencana lain bagi bangsa dan negeri ini.

read more

Telaah Kitab Demokrasi Sistem Kufur Karya Syekh Abdul Qadim Zallum

0 komentar
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi*
Pendahuluan
“Memilih pemimpin yang baik hukumnya wajib, maka golput haram,” demikian salah satu butir fatwa MUI hasil Ijtima’ Ulama 24 - 26 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera Utara. Fatwa tersebut sebenarnya mempunyai satu kelemahan mendasar, yaitu mengabaikan sistem demokrasi yang ada. Sangat disayangkan. Mestinya dikaji dulu, apakah sistem demokrasi itu sesuai Islam atau justru bertolak belakang dengan Islam?
Menurut Hizbut Tahrir, demokrasi adalah sistem kufur, sehingga implikasinya adalah haram hukumnya mengadopsi, menerapkan, dan mempropagandakannya. Pada tahun 1990, Hizbut Tahrir mengeluarkan kitab karya Syekh Abdul Qadim Zallum berjudul Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr : Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Ad-Da’watu Ilaiha. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1994, cet I).
Telaah kitab kali ini bertujuan untuk menggambarkan isi buku tersebut, yang selanjutnya judulnya disingkat DSK (Demokrasi Sistem Kufur ). Seperti telah disebut, buku ini adalah karya Syekh Abdul Qadim Zallum (w. 2003). Beliau adalah ulama mujtahid yang faqih fid din yang pernah menjadi Amir (pemimpin) Hizbut Tahrir antara tahun 1977-2003.
Buku Yang Langka
Buku DSK karya Syekh Abdul Qadim Zallum tersebut sebenarnya bukan satu-satunya buku yang mengkritik demokrasi secara telak dan mendasar. Banyak buku lain yang juga menolak konsep demokrasi, misalnya :
1. Al-Hamlah Al-Amirikiyyah Li Al-Qadha` ‘Ala Al-Islam, Bab Ad Dimuqrathiyyah (Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, bab Demokrasi), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1996;
2. Afkar Siyasiyah (Bab An-Niham ad-Dimuqrathiy Nizham Kufur min Wadh’i al-Basyar, h.135-140), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1994;
3. Ad-Damghah Al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah(Menghancurkan Demokrasi), karya Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair);
4. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura h. 246-261) karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir);
5. Qawaid Nizham Al-Hukmi fi Al- Islam (Bab Naqdh Ad-Dimuqrathiyyah, h. 38-95) karya Mahmud Al-Khalidi (ulama Hizbut Tahrir);
6. Ad-Dimuqratiyyah fi Dhaw’i as-Syari’ah al-Islamiyyah (Demokrasi dalam Sorotan Syariah Islam), karya Mahmud Al- Khalidi;
7. Ad-Dimuqratiyyah wa Hukmul Islam fiiha, karya Hafizh Shalih (ulama Hizbut Tahrir);
8. Ad-Da’wah Ila Al-Islam (Bab Ad-Dimuqrathiyah Laisat Asy-Syura, h. 237-239) karya Ahmad Al-Mahmud (ulama Hizbut Tahrir);
9. Syura Bukan Demokrasi (Fiqh asy-Syura wa al-Istisyarat), karya Dr. Taufik Syawi, terbitan GIP Jakarta, tahun 1997;.
10. Naqdh al-Judzur Al-Fikriyah li Ad-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, karya Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti (ulama Hizbut Tahrir) (2002);
11. Haqiqah Ad-Dimuqrathiyah, karya Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif (1411 H);
12. Ad-Dimuqrathiyah wa Akhowatuha, karya Abu Saif Al-Iraqi (1427 H);
13.Ad-Dimuqrathiyah Diin (Agama Demokrasi), karya Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisi, terbitan Kafayeh Klaten, 2008 (cet II).
Bahkan Syekh Abdul Qadim Zallum sendiri sebenarnya telah mengkritik demokrasi secara ringkas dalam kitabnya yang lain, yakni Kaifa Hudimat Al Khilafah (Bab Munaqadhat Ad-Dimuqrathiyah li Al-Islam, h. 59-79).
Namun demikian, buku semacam DSK ini tetaplah terhitung jarang jika dibandingkan dengan buku-buku yang mempropagandakan demokrasi, yang jumlah bejibun nyaris tak terhitung lagi, baik yang memang ditulis kaum kafir maupun yang ditulis oleh intelektual muslim yang salah paham terhadap demokrasi. Lihat saja misalnya, buku berjudul Fiqih Daulah karya Yusuf Al-Qaradhawi. Berkaitan dengan demokrasi, Al-Qaradhawi menyatakan “keprihatinannya” tatkala suatu saat dia bertemu dengan seorang pemuda Yordania yang menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang kufur. Padahal, menurut Al Qaradhawi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam sebab inti demokrasi adalah bahwa hak memilih penguasa ada di tangan rakyat. Dan hak semacam ini, katanya, ada dalam Islam.
Tak ayal lagi, pendapat Al Qaradhawi ini –yang sebenarnya tidak tepat itu— disambut hangat dan meriah oleh sebagian kaum muslimin yang tengah mencari-cari justifikasi untuk terlibat dalam sistem demokrasi.
Di tengah banjirnya propaganda demokrasi yang tak kenal henti inilah, kehadiran buku DSK nampak menggugah dan menantang. Menggugah, karena kehadirannya mengingatkan kita bahwa di saat umat tenggelam dalam kegilaan dan kemabukan terhadap demokrasi ternyata masih saja ada ulama-ulama pelita umat yang jujur dan ikhlas membimbing umat serta menyampaikan nasihat dan peringatan kepada mereka. Dan dikatakan menantang, karena buku DSK tidak memposisikan diri secara defensif dan apologis sebagai pihak yang diserang. Sebaliknya, DSK mengambil posisi ofensif yang tidak tanggung-tanggung tanpa kenal kompromi. Ungkapan “Demokrasi Sistem Kufur” adalah deklarasi yang menantang, heroik, berani, tanpa tedeng aling-aling, dan tanpa basa-basi. Dalam ungkapan ini terkandung daya tantangan yang dahsyat, yang sungguh akan terlihat kontras bila dibandingkan dengan ungkapan para intelektual muslim yang menggembar-gemborkan demokrasi tanpa rasa malu sampai berbusa-busa mulutnya, atau ungkapan sebagian ulama yang memutar-mutar lidahnya hanya untuk memberi justifikasi palsu terhadap demokrasi.
Ringkas kata, buku DSK merupakan buku yang sangat layak dikaji oleh umat yang nasibnya terus terpuruk dan tak henti-hentinya dipermainkan oleh negara-negara Barat kafir yang katanya merupakan pionir-pionir demokrasi itu. DSK boleh dikatakan semacam obat mujarab yang dapat menyembuhkan umat yang tengah mengidap penyakit bingung dan sesat akibat upaya Barat –dan antek-anteknya dari kalangan penguasa dan intelektual muslim– yang tak kenal lelah menjajakan demokrasi yang kufur itu.
Gambaran Isi Buku
Mereka yang membaca DSK akan menemukan bahwa buku itu ditulis tanpa daftar isi, tanpa pembagian menjadi bab-bab, dan tanpa sub-sub judul. (Kitab aslinya yang berbahasa Arab juga tanpa daftar isi, tanpa bab-bab, dan tanpa anak judul). Sehingga, DSK terkesan “aneh”, tidak efektif, tidak sistematis, dan terasa janggal. Namun demikian, di balik kesan-kesan seperti itu, sebenarnya teknik penulisan DSK itu memang disengaja dan mempunyai maksud tertentu, yaitu ingin mengajak pembacanya untuk lebih mencurahkan konsentrasi dan daya pikirnya, sehingga pembaca akhirnya dapat menangkap substansi buku dan merangkai sendiri urutan dan sistematika berpikir penulis. Jadi, DSK memang bukan buku instan seperti fastfood yang cepat saji, melainkan buku yang betul-betul mengajak pembacanya untuk berpikir keras dalam memahami dan mencerna suatu ide. Kesan-kesan bahwa DSK tidak efektif, tidak sistematis, dan sebagainya –karena melulu berisi teks tanpa anak-anak judul– barangkali hanya akan dirasakan oleh mereka yang malas berpikir.
Dengan menelaah DSK secara cermat, setidaknya ada 5 (lima) ide pokok (pikiran utama) yang hendak disampaikan oleh penulisnya, yaitu :
Pertama, Deskripsi ringkas demokrasi,
Kedua, Praktek dan paradoks demokrasi,
Ketiga, Sebab dianutnya demokrasi oleh umat Islam ,
Keempat, Kaidah pengambilan ide dari umat dan bangsa lain,
Kelima, Kontradiksi demokrasi dengan Islam.
Ide pokok pertama, menjelaskan tentang demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.
Ide pokok kedua, menerangkan bagaimana demokrasi yang sebenarnya ide khayal itu dipraktekkan dalam kenyataan. Dijelaskan pula paradoks yang terjadi di negara-negara Barat dan negeri-negeri Islam dalam penerapan demokrasi.
Ide pokok ketiga, menerangkan 2 (dua) sebab utama mengapa umat mengambil demokrasi, yakni serangan pemikiran yang dilancarkan Barat, dan kelemahan pemahaman di kalangan kaum muslimin.
Ide pokok keempat, menerangkan tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain, serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin.
Ide pokok kelima, menerangkan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.
Berikut ini uraian lebih jauh untuk masing-masing ide pokok.
Ide I : Deskripsi Ringkas Demokrasi
Pada bagian awal DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum berusaha menguraikan demokrasi secara ringkas. Satu hal yang beliau tekankan, bahwa demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.
Penjelasan ringkas ini meliputi 5 (lima) aspek utama yang berkaitan dengan demokrasi, yaitu :
a). Asal-usul demokrasi ,
b). Aqidah demokrasi,
c). Ide dasar demokrasi,
d). Standar demokrasi (yaitu mayoritas), dan
e). Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.
Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT.
2 Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.
3. Demokrasi berlandaskan dua ide :
a. Kedaulatan di tangan rakyat.
b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu :
a. Kebebasan beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)
Ide II : Praktik dan Paradoks Demokrasi
Demokrasi adalah ide khayal (utopia), tidak sesuai dengan realitas dan penuh dengan paradoks, dan telah melahirkan dampak-dampak yang sangat buruk dan mengerikan terhadap umat manusia. Inilah yang hendak diuraikan oleh buku DSK pada ide pokok keduanya.
Demokrasi dalam pengertiannya yang asli adalah ide khayal, sedang setelah dilakukan takwil padanya, tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada. Misalnya ide bahwa pemerintahan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat dan bahwa kepala negara dan anggota parlemen merupakan wakil dari kehendak rakyat dan mayoritas rakyat. Faktanya, tidak seperti itu. Mustahil seluruh rakyat menjalankan pemerintahan. Karena itu, penggagas demokrasi membuat sistem perwakilan, sehingga katanya, rakyat harus diwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen. Benarkah para anggota parlemen betul-betul mewakili rakyat dan membawa aspirasi mereka? Benarkah kepala negara yang dipilih oleh parlemen juga menyuarakan hati nurani rakyatnya? Ah, ternyata tidak juga. Bohong itu semua. Di negara-negara kapitalis, seperti Amerika dan Inggris, anggota parlemen sebenarnya mewakili para kapitalis, bukan mewakili rakyat. Di Amerika, proses pencalonan dan pemilihan wakil rakyat selalu dibiayai oleh para kapitalis, demikian uraian Syekh Abdul Qadim Zallum.
Banyak data kuantitatif yang menguatkan pernyataan ini. Untuk proses pencalonan satu orang senator saja, dibutuhkan biaya US $ 43 juta dolar. (Lihat Andrew L. Shapiro, Amerika Nomor 1, h. 89). Seberapa besar uang senilai US $ 43 juta dolar itu? Bayangkan, uang US $ 1 juta dolar saja (sekali lagi US $ 1 juta dolar saja), adalah sama dengan biaya pembelian 100.000 ton beras, yang dapat mencukupi kebutuhan 500.000 orang dalam satu tahun. Uang US $ 1 juta dolar dapat digunakan untuk membangun 1.000 ruang kelas yang dapat menampung sebanyak 30.000 siswa, serta dapat dimanfaatkan untuk membangun 40.000 apotik sederhana. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Jadi, sangat besar biaya untuk menjadi wakil rakyat di AS. Lalu, siapa yang menanggungnya? Jelas bukan rakyat dan calon bersangkutan. Para kapitalislah yang membiayai semuanya! Fakta ini sudah terkenal di Amerika.
Apakah seorang kepala negara yang dipilih parlemen benar-benar menyuarakan atau memperhatikan aspirasi rakyat? Ternyata juga tidak. Dalam DSK diuraikan contoh-contoh yang pernah ada dalam sejarah mengenai penguasa yang bertindak sendiri, tanpa persetujuan mayoritas parlemen, seperti Sir Anthony Eden (Inggris), John Foster Dulles (AS), Charles De Gaule (Perancis), dan Raja Hussein (Yordania).
Di samping menyoroti paradoks-paradoks demokrasi seperti itu, DSK juga menyinggung dampak-dampak buruk penerapan demokrasi. Kebebasan hak milik (sebagai prasyarat demokrasi), telah melahirkan kapitalisme yang akhirnya menjadi sarana negara-negara Barat untuk menjajah dan mengeksplotir berbagai bangsa di dunia. Akibat kapitalisme itu terutama adalah semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara penjajah yang kafir. Banyak data kuantitatif yang membeberkan kenyataan ini. Negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Inilah tragedi akbar terhadap umat manusia akibat demokrasi yang kafir!
Kebebasan bertingkah laku yang dijajakan Barat, ternyata menimbulkan kebejatan moral yang mengerikan di Barat dan juga di negeri-negeri Islam yang mengekor Barat. Mayoritas rakyat AS (sebanyak 93 %) mengakui tidak mempunyai pedoman moral dalam hidupnya. Sekitar 31 % orang masyarakat AS yang telah berumah tangga pernah melakukan hubungan seks dengan pasangan lain. (Jumlah ini kira-kira setara dengan 80 juta orang). Mayoritas orang AS (62 %) menganggap hubungan seks dengan pasangan lain adalah sesuatu yang normal dan tidak bertentangan dengan tradisi atau moral. (Lihat Muhammad bin Saud Al-Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, h. 13-32). Sungguh, ini menggambarkan betapa buruknya moral para penganut demokrasi!
Ide III : Sebab Diambilnya Demokrasi oleh Umat Islam
DSK pada bagian ini menerangkan mengapa demokrasi yang jelek itu tetap saja laku di kalangan umat Islam. Secara global, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan ada 2 (dua) sebab, yaitu :
Pertama, serangan kebudayaan (al-ghazwu ats-tsaqofi) yang dilancarkan Barat terhadap negeri-negeri Islam, yang dilancarkan sejak lama bahkan sebelum runtuhnya Khilafah Islamiyah, dan memuncak pada pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh kedua abad XIX M).
Kedua, kelemahan dan kemerosotan taraf berpikir umat yang sangat parah. Kedua faktor ini saling bersinergi secara negatif, sehingga akhirnya umat terpikat dan terkecoh untuk mengambil peradaban Barat.
Dalam serangan kebudayaan, Barat antara lain menempuh cara menjelek-jelekkan Islam dan menerangkan bahwa biang kerok kemerosotan umat Islam adalah hukum-hukum Islam itu sendiri. Selain itu, Barat juga melakukan manipulasi pemikiran dengan menyatakan bahwa demokrasi tidaklah bertentangan dengan Islam dan bahwa justru Barat mengambil demokrasi dari Islam.
Sementara itu, pada saat yang sama kaum muslimin tengah anjlok taraf berpikirnya. Khususnya mengenai sikap yang harus diambil terhadap ide-ide yang berasal dari bangsa dan umat lain. Umat masih bingung dan belum mempunyai standar yang jelas mengenai apa yang boleh diambil dan tidak boleh diambil dari bangsa dan umat yang lain.
Adanya serangan Barat dan kemerosotan taraf berpikir umat inilah yang akhirnya menjerumuskan umat untuk mengambil ide demokrasi Barat yang kafir.
Ide IV : Kaidah Pengambilan Ide dari Umat dan Bangsa Lain
Pada bagian ini, dengan berlandaskan kajian yang komprehensif terhadap nash-nash syara’, penulis DSK menerangkan mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin –dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain– dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.
Standar atau kriterianya adalah sebagai berikut. Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang terlahir dari kemajuan sains dan teknologi (madaniyah), boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya, seperti Teori Darwin.
Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara’ yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalam hal ini Rasullah SAW bersabda :
أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian.” (HSR. Muslim)
Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara’, serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam (hadlarah), pandangan hidup Islam, dan hukum- hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara’, dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari’at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ Shahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Sebab dalam hal ini Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Karena itu, kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya, termasuk demokrasi. Sebab peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam.
Ide V : Kontradiksi Demokrasi dengan Islam
Pada ide pokok kelima ini, Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu :
1. Sumber kemunculan
2. Aqidah
3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan
4. Prinsip Mayoritas
5. Kebebasan
(1). Sumber Kemunculan
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4)
(2). Aqidah
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
(3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
(4). Prinsip Mayoritas
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
(5). Kebebasan
Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu:
a. Kebebasan beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)
Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)
Penutup
Setelah menguraikan kontradiksi yang teramat nyata antara demokrasi dengan Islam, pada bagian akhir kitab DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa tedeng aling-aling. Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut :
Pertama, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Kedua, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.” [ ]
= = = =
**Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI; Penerjemah kitab Demokrasi Sistem Kufur(Syekh Abdul Qadim Zallum) dan kitab Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belhaj).

read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)