Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Jumat, 03 Desember 2010

Solusi Islam Mengatasi HIV/AIDS

Jumat, 03 Desember 2010
0 komentar
Sebanyak 51 dari 100 remaja perempuan tidak lagi perawan. Itulah hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Rentang usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun.



“Berdasar data yang kami himpun dari seratus remaja, 51 di antaranya sudah tak lagi perawan,” ujar Kepala BKKBN, Sugiri Syarief, ketika ditemui dalam peringatan Hari AIDS Sedunia di lapangan parkir IRTI Monas, Minggu (28/11).

Temuan serupa terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Di Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen dan Jogjakarta 37 persen. Menurut dia, data ini dikumpulkan BKKBN sepanjang kurun waktu 2010 saja. Entahlah, berapa persentasenya jika survey dilakukan di kalangan remaja laki-laki. Penulis yakin, remaja laki-laki yang sudah tidak lagi perjaka sebelum menikah, pasti lebih besar persentasenya.



INVEKSI HIV





Maraknya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja, berbanding lurus dengan infeksi HIV/AIDS. Data Kemenkes pada pertengahan 2010, di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun (48,1 persen) dan usia 30-39 tahun (30,9 persen). Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak ada di kalangan heteroseksual (49,3 persen) dan IDU atau jarum suntik (40,4 persen).



Fenomena free sex di kalangan remaja, menurut dia, tak hanya menyasar pada kalangan pelajar, tapi juga jamak didapati di kelompok mahasiswa. Dari 1.660 responden mahasiswi di kota pelajar Jogjakarta, sekitar 37 persen mengaku sudah kehilangan kegadisannya. Menurut dia, di samping masalah seks pranikah, remaja dihadapkan pada dua masalah besar lainnya yang terkait dengan penularan HIV/AIDS, yakni aborsi dan penyalahgunaan narkoba.



Data Kemenkes memang menyebutkan bahwa pertumbuhan jumlah pengguna narkoba di Indonesia saat ini mencapai 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75 persen di antaranya atau 2,5 juta jiwa adalah remaja.Sementara tingkat kehamilan di luar nikah yang mencapai 17 persen tiap tahun, bermuara pada praktik aborsi hingga rata-rata mencapai 2,4 juta jiwa per tahun.



BOBROKNYA MORAL



Data di atas merupakan cermin, betapa sudah sedemikian bobroknya moral generasi penerus hingga tindakan yang jelas-jelas melanggar agama makin merebak. Seks bebas, aborsi dan kecanduan narkoba adalah perbuatan maksiat yang dilarang agama, namun terbukti telah menjadi gaya hidup sebagian besar remaja. Akibatnya, penyakit mematikan Aids pun menjadi ancaman generasi penerus ini.



Jumlah kasus yang terdata seperti dipaparkan di atas, tentunya belum mencerminkan keadaan sebenarnya, melainkan sebagai fenomena gunung es. Realitas di lapangan angkanya pasti jauh lebih banyak, mengingat belum semua orang dengan HIV/Aids (ODHA) terdeteksi. Di antaranya karena keengganan memeriksakan diri.



Nah, berkenaan dengan Hari AIDS Sedunia 1 Desember, tahun ini mengambil tema ‘peningkatan hak dan akses pendidikan

untuk semua guna menekan laju epidemi HIV di Indonesia menuju tercapainya tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).



Pendidikan berkualitas diyakini mampu membantu generasi muda untuk membentengi diri dari berbagai macam

penyakit, termasuk HIV dan AIDS sejak usia dini. Karena itu pendidikan pencegahan HIV dan AIDS secara berkelanjutan perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari upaya untuk mencapai target MDGs tahun 2015.

Lantas pendidikan seperti apa yang mampu mencegah penularan HIV/Aids?



PENCEGAHAN





Sejatinya, upaya pencegahan penularan HIV/Aids terus gencar dilakukan. LSM-LSM telah banyak yang memberikan edukasi kepada mereka-mereka yang rentan terkena HIV/Aids. Seperti penyuluhan pada para pelaku seks aktif, seperti Pekerja Seks Komersial (PSK). Pengetahuan tentang HIV/Aids pun telah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Misalnya dikemas dalam materi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah.

Sayang, materi penyuluhan tentang HIV/Aids untuk masyarakat umum maupun pelajar itu minus muatan moral dan agama. Bahkan faktor moral dan agama sengaja dihilangkan dan sama sekali tabu dibicarakan, karena menurut mereka, HIV/Aids sekadar fakta medis yang tidak bisa dikait-kaitkan dengan moral dan agama.



Ini karena dalam pandangan mereka, tidak semua ODHA adalah para pelaku tindak amoral seperti pelaku seks bebas. Ada anak yang tertular HIV/Aids dari ibunya, atau istri baik-baik tertular dari suaminya. Jadi, dalam logika ini, memasukkan nilai-nilai moral atau agama hanya akan memvonis ODHA sebagai pelaku tindak amoral. Karena itu ODHA dibela habis-habisan. Bahkan sengaja dibaurkan dengan masyarakat sehat, sehingga upaya pencegahan penularan HIV menjadi tak ada artinya.



Padahal, akar munculnya penyakit HIV/Aids memang terkait dengan perilaku sosial yang erat kaitannya dengan moral. Sebab jika ditelusuri, munculnya HIV/Aids terjadi karena aktivitas sosial yang menyimpang dari tuntunan agama.

Ingat, virus mengerikan ini pertama kali ditemukan tahun 1978 di San Fransisco Amerika Serikat pada kalangan homoseksual, suatu perilaku yang ditentang dalam agama manapun. Di Indonesia kasus HIV/AIDS ini pertama kali ditemukan pada turis asing di Bali tahun 1981. Kita tahu, bagaimana perilaku seks turis asing, meski tak semuanya memang penganut seks bebas. Karena itu, minusnya muatan agama dalam kurikulum penyuluhan HIV/Aids dipastikan tidak akan membuat upaya pencegahan penyebaran HIV/Aids efektif. Bahkan, bisa dibilang sia-sia. Buktinya, makin gencar pencegahan HIV, makin meluas penularannya.



SOLUSI SEMU



Sementara itu, gagasan pencegahan HIV/Aids yang bersumber dari UNAIDS (United Nation Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan WHO melalui PBB juga tampak tidak mengakar.



Dalam kampanye pencegahan HIV/Aids, ada istilah ABCD. Ringkasnya, A=Abstinence alias jangan berhubungan seks; B=Be faithfull alias setialah pada pasangan, C=Condom alias pakailah kondom, atau D=no use Drugs atau hindari obat-obatan narkotika.



Solusi yang ditawarkan tampaknya bagus. Namun, pada realitasnya program kondomisasi lebih menonjol. Padahal, orang bodoh pun tahu bahwa menyodorkan komdom sama saja dengan menyuburkan seks bebas. Apalagi, faktanya kondom justru dibagi-bagikan di lokasi-lokasi prostitusi, hotel dan tempat-tempat hiburan yang rentan terjadinya transaksi seks. Apa namanya kalau bukan menganjurkan seks bebas?



Selanjutnya, karena penularan HIV/Aids banyak terjadi pada pengguna narkoba terutama suntik, maka untuk mencegah penggunaan narkoba, para pecandunya diberi solusi dengan substitusi metadon. Metadon adalah turunan dari narkoba (morfin, heroin dkk) yang mempunyai efek adiktif (nyandu) dan menyebabkan “loss control” (tidak mampu mengendalikan diri). Dengan dalih agar tidak menggunakan narkoba suntik metadon pun ditempuh karena metadon melalui mulut. Padahal, “loss control” dapat menyebabkan perilaku seks bebas sebagai transmisi utama penularan virus HIV/AIDS.



Lebih ironis lagi adalah legalisasi penggunaan jarum suntik pada pecandu narkoba, dengan dalih agar tidak terjadi penggunaan jarum suntik secara bersama-sama. Padahal, langkah ini justru akan melestarikan penggunaan narkoba suntik. Siapa yang bisa menjamin jarum suntik akan digunakan sendiri? Sebab, fakta menunjukkan pengguna narkoba biasanya hidup berkelompok.



Jelaslah, solusi ala PBB itu tidak memberantas faktor penyebab utama (akar masalah) atau menghilangkan media penyebarannya yaitu seks bebas, namun justru melestarikannya. Jangan heran jika virus HIV/AIDS ini makin merajalela. Buktinya, tiap tahun angkanya meningkat. Sampai-sampai ada kecurigaan segelintir kalangan, bahwa HIV/Aids sengaja dipelihara sebagai upaya genocide terselubung etnis tertentu (baca: umat Islam).

SOLUSI ISLAM





Media utama penulatan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial (nizhom ijtima’i/aturan sosial).



Seperti larangan mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan khalwat (beruda-duaan laki perempuan bukan mahram, seperti pacaran), larangan ikhtilat (campur baur laki perempuan), selalu menutup aurat, memalingkan pandangan dari aurat, larangan masuk rumah tanpa izin, larangan bercumbu di depan umum, dll. Sementara itu, kepada pelaku seks bebas, segera jatuhi hukuman setimpal agar jera dan tidak ditiru masyarakat umumnya. Misal pezina dirajam, pelaku aborsi dipenjara, dll.



Di sisi lain, seks bebas muncul karena maraknya rangsangan-rangsangan syahwat. Untuk itu, segala rangsangan menuju seks bebas harus dihapuskan. Negara wajib melarang pornografi-pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya. Industri hiburan yang menjajakan pornografi dan pornoaksi harus ditutup. Semua harus dikenakan sanksi. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk perilaku menyimpang seperti homoseksual.



Sementara itu, kepada penderita HIV/Aids, negara harus melakukan pendataan konkret. Negara bisa memaksa pihak-pihak yang dicurigai rentan terinveksi HOV/Aids untuk diperiksa darahnya. Selanjutnya penderita dikarantina, dipisahkan dari interaksi dengan masyarakat umum. Karantina dimaksudkan bukan bentuk diskriminasi, karena negara wajib menjamin hak-hak hidupnya. Bahkan negara wajib menggratiskan biaya pengobatannya, memberinya santunan selama dikarantina, diberikan akses pendidikan, peribadatan, dan keterampilan.



Di sisi lain, negara wajib mengerahkan segenap kemampuannya untuk membiayai penelitian guna menemukan obat HIV/Aids. Dengan demikian, diharapkan penderita bisa disembuhkan.



KHATIMAH





Demikianlah, pencegahan seks bebas ini bisa efektif jika masyarakat dididik dan dipahamkan kembali untuk berpegang teguh pada ajaran agama. Masyarakat yang paham bahwa hubungan seks adalah sakral dan hanya bisa dilakukan dengan pasangan sah melalui pernikahan akan membentuk kehidupan sosial yang sehat.(*)

read more

Menggugat Hukum Jahiliyyah Tafsir Q.S. Al-Maidah: 50

0 komentar
oleh: Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I


Apa hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? [QS Al-Maidah: 50]

Sabab Nuzul
Diriwayatkan Ibnu ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu hatim dan al-baihaqi dalam ad-Dalaail yan bersumber dari Ibnu Abbas:

Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya dan Syasy bin Qais berkata, "Pergilah kalian bersama kami menghadap Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkan dari agamanya." Sesampai di tempat Nabi Saw. mereka berkata, "ya Muhammad, sesungguhnya engkau mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta yahudi, orang-orang terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan yang memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, lalu kami akan beriman kepadamu dan membenarkanmu." nabi Saw. menolak keinginan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49 - 50. [1]


Keterkaitan dengan Ayat sebelumnya

Konteks ayat ini masih terkait erat dengan ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt. memerintahkan kepada setiap kaum untuk memutuskan perkara dengan hukum yang telah diturunkan-Nya. bani Israil diperintahkan berhukum dengan Taurat. Dalam ayat 44, disebutkan: yahkumu bihaa al-nabiyyuun al-laziina aslamuu li-ladziina haaduu wa al-rabbaniyyuun wa al-akhbaar (dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, orang-orang alim mereka, dan pendeta-pendeta mereka). Bani Israil, setelah diutusnya Nabi Isa as., diperintahkan berhukum dengan Injil. Dalam ayat 47 dinyatakan: walyahkum ahl al-Injiil bimaa anzalaLlaah (hendaklah pengikut injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya).

Seruan yang sama juga ditujukan kepada RasuluLlah Saw. dan umtnya. Merekadiperintahkan memutuskan perkara dengan al-Quran. Sebagai kitab pamungkas, al-Quran ditetapkan sebagai pembenar (mushaddiq[an]) dan muhaymiin[an] 'alayh (batu ujian atau penghapus berlakunya) kitab-kitab sebelumnya (QS al-Maidah: 48). Dengan demikian, sejak al-Quran diturunkan, seluruh manusia wajib berhukum kepadanya,[2] termasuk kaum yang menjadi pengikut nabi-nabi sebelumnya.[3] Hal ini disebabkan karena syariat nabi Muhammad saw. telah menghapus syariat nabi sebelumnya.[4] Dalam ayat 48 Allah Swt. berfirman: fahkum baynahum bimaa anzalaLlaah (hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan). Jika dirunut ke belakang, dhamir hum (kata ganti mereka) dalam ayat ini merujjuk kepada kaum Yahudi.[5]

Perintah memutuskan perkara dengan hukum Allah itu sampai derajat wajib. dalam ayat-ayat tersebut cukup banyak qarinah/indikator yang menunjukkannya. Di antaranya adalah celaan yang amat keras terhadap orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan-Nya. Mereka disebut kaafiruun (ayat 44), dzaalimuun (ayat 45) dan faasiquun (ayat 47). Tindakan berpaling dari hukum Allah Swt mendapatkan sanksi di dunia[6] berupa ditimpa musibah.

Ayat ini (QS Al-Maidah: 50) juga menjadi qarinah berikutnya. Allah Swt. mencela orang yang menolak untuk mengikuti hukum Alla Swt. dengan menyebut orang yang mencari hukum jahiliyyah. Padahal, tidak satu pun hukum yang dapat mengungguli, menandingi atau bahkan menyamai hukum-Nya.



Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: afahukm al-jaahiliyyah yabghuun (apa hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki?). Kalimat istifham dalam ayat ini bermakna li al-inkaar wa tawbiikh (pengingkaran dan celaan).[7]

Menurut Mujahid,[8] Qatadah,[9] dan beberapa mufassir lainnya, yang menjadi sasaran celaan ayat ini adalah Yahudi.[10] Apabila dikaitkan dengan ayat sebelumnya beserta sabab nuzul-nya maka pendapat tersebut memang tepat. Celaan terhadap kaum yahudi makin menemukan relevansinya mengingat mereka adalah ahlul kitab, yang penentuan halal dan haramnya berasal dari Allah, namunmereka justru berpaling dari hukum-Nya dan lebih memilih hukum jahiliyyah. Padahal, hukum Jahiliyyah itu hanya sekedar memperturutkan hawa nafsu yang mementingkan dan memenangkan kalangan elit mereka. Oleh karena itu, ungkapan ayat ini dinilai sebagai celaan paling keras terhadap mereka.[11]

Kendati demikian, cakupan ayat ini tidak bisa dibatasi hanya untuk kaum Yahudi. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Hasan, ayat ini bersifat umum sehingga berlaku untuk semua orang yang mencari hukum selain hukum Allah Swt.[12]

Pendapat Ibnu Katsir sejalan dengan pendapat tersebut. Menurutnya, dalam ayat ini Allah Swt. mengingkari setiap orang yang keluar dari hukum-Nya yang muhkam, yang mencakup seluruh kebaikan, melarang semua keburukan, dan berpaling dari semua pendapat, kesenangan, dan istilah selainnya yang dibuat oleh seseorang tanpa sandaran syariat-Nya sebagaimana dilakukan kaum jahiliyyah yang hukumnya didasarkan atas kesesatan dan kebodohan. [13]

kata al-jaahiliyyah berasal dari kata al-jahl yang berarti bodoh atau dhid al-'ilmu (lawan dari mengetahui). Akan tetapi, kata tersebut dapat ditransformasikan maknanya sehingga memiliki makna baru yang berbeda dengan makna etimologinya. menurut al-Baidhawi, yang dimaksud al-jaahiliyyah adalah agama jahiliyyah yang memperturutkan hawa nafsu.[14] Kesimpulan tersebut didasarkan pada frasa berikutnya.

Allah Swt. berfirman: waman ahsan minallaah hukm[an] liqawm[in] yuuqinuun hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?).

Jika dalam frasa sebelumnya disebut hukm al-jaahiliyyah maka dalam frasa ini dikomparasikan dengan hukmuLlaah (hukum Allah). Berdasarkan ayat ini, as-Sudi mengklasifikasikan hukum hanya menjadi dua, yaitu hukum Allah dan hukum jahiliyyah.[15] Al-Hasan juga membagi hukum menjadi dua: Pertama: hukum yang didasarkan ilmu, yakni hukum Allah. Kedua: hukum yang didasarkan pada kebodohan, yakni hukum syetan.[16] Selanjutny al-Hasan mengatakan, "Brangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah maka itulah hukum jahiliyah."[17]

Al-Baqai juga menyatakan, "Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah niscaya dia menerima hukum setan yang semata-mata hawa nafsu yang merupakan agama orang jahil yang tidak memiliki kitab, pemberi petunjuk dan syariah."[18]

Sayyid Quthb memberi gambaran lebih gamblang mengenai hukum jahiliyah. Dalam tafsirnya, Fii Zhilaal al-Quraan, dipaparkan: "Sesungguhnya makna jahiliyyah itu didefinisikan oleh nash ini. Jahiliyyah -sebagaimana digambarkan Allah dan didefinisikan al-Quran- adalah hukum manusia untuk manusia. Sebab, jahiliyyah merupakan bentuk penyembahan manusia terhadap manusia lainnya,keluar dari penghambaan Allah, menolak ketuhanan Allah dan memberikan pengakuan -lawan dari penolakan- terhadap ketuhanan sebagian manusia dan penghambaan terhadap mereka selain Allah"[19]

Bertolak dari paparan para mufassir tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum jahiliyyah adalah semua hukum yang tidak berasal dari Allah Swt. kaum beriman tidak selayaknya mengambil dan mengadopsi hukumjahiliyyah tersebut. Sebab, Allah Swt. telah memberikan hukum-Nya yang tidak bisa disamai dan ditandingi oleh hukum selainnya.

Kalimat tanya dalam frasa akhir ayat ini juga bermakna "li al-inkar".[20] Artinya: "Laa ahsana min hukmiLlaah 'inda ahl al-yaqiin" (tidak ada yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang yang yakin).[21] Dengan demikian, ayat ini memberikan makna bahwa sesungguhnya hukum Allah merupakan puncak kebaikan dan keadilan.[22]

Menurut al-Zujjaj, qawm[in] yuuqinuun adalah orang-orang yang yakin terhadap jelasnya keadilan Allah dalam hukum-Nya.[23] Pengertian lebih luas mereka adalah orang yang meyakini semua perkara yang wajib diimani.

read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)