Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Jumat, 30 Juli 2010

cerita lintang

Jumat, 30 Juli 2010
0 komentar
Teringat sosok lintang dalam sebuah film laskar pelangi yang mempunyai karakter cerdas, bertanggung jawab, dan berjiwa pemimpin dalam keluarganya, dia memainkan peran sebagai anak levis(leweng pisan) yang tinggal dipesisir pantai yang jauh dari tetangga, saudara, sekolah, pasar, mall, warnet dll, pokoknya hidupnya termarjinalkan, sampai-sampai untuk pergi sekolahpun dia harus menempuh jarak puluhan kilo, melawati hutan belantara, rawa-rawa dan tentu saja harus melewati sarang buaya, dengan sepedah kumbangnya yang agak sedikit reod dia mengayuh dan terus mengayuh dari pagi buta sampai senja tiba, tak pernah terukir rasa keluh di raut mukanya, yang ada hanyalah sebuah senyum simpul bahagia yang ia tebarkan karna bisa bersekolah dengan teman-temannya dan berharap masa depannya lebih baik dari hari ini.
Dia hidup bersama ayah dan kedua adiknya yang masih kecil-kecil, saat ayahnya pergi melaut dialah yang menjaga dan mengurus adik-adiknya. memasak, mencuci dan mengepel dia lakukan sendiri, maklumlah bundanya telah tiada hanya Ayahnyalah yang menjadi tumpuan hidupnya, namun disuatu waktu tatkala dia telah mengikuti perlombaan cerdas cermat setingkat desa di sekolahnya, dia membawa sebuah senyum kemenangan serta selembar piagam penghargaan yang akan dipersembahkan untuk Ayahnya tercinta, yang ia yakini mampu membuat ayahnya bangga dan bertepuk dada dengan prestasi yang didapatkannya namun ketika sampai di rumah ayahnya tak ada, “belum pulang dari melaut”. Kata sang adik. Dia tunggu detik demi detik di depan rumahnya, hingga jam menunjukkan pukul 23.30 waktu setempat, namun sang ayah belumlah juga menampakkan batang hidungnya, rasa bahagianya pun lambat laun mulai berubah menjadi kecewa, hingga keesokan harinya dia mendapatkan kabar, bahwa ayahnya telah meninggal dunia terhempas badai saat melaut kemarin sore, betapa hancur hati lintang saat mendengar kabar itu, kebahagian yang akan dia persembahkan untuk ayahnya kini pupus sudah 

read more

Senin, 26 Juli 2010

~Jawab Soal : Seputar Bid’ah (sumber : Situs Amir Hizbut Tahrir ; http://hizb-ut-tahrir.info)~

Senin, 26 Juli 2010
0 komentar
Soal: pada satu pertemuan kami mendiskusikan masalah bid’ah secara istilah. Sebagian dari kami mengatakan bahwa bid’ah itu mencakup semua bentuk yang menyalahi ketentuan asy-Syâri’. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud bid’ah itu hanya penyimpangan ketentuan asy-Syâri’ dalam ibadah… Kami mohon penjelasan masalah ini? Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.

Jawab:

Perintah-perintah asy-Syâri’ itu ada dua jenis:

Jenis pertama, dinyatakan redaksi perintah disertai penjelasan tata cara menunaikan perintah tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk mengimplementasikan. Misalnya Allah SWT berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Dan dirikanlah shalat (QS al-Baqarah [2]: 43)

Ini adalah redaksi perintah. Akan tetapi manusia tidak dibiarkan untuk shalat sesuai keinginannya, melainkan datang nash-nash lain yang menjelaskan tata cara menunaikan shalat mulai takbiratul ihram, berdiri, membaca al-Fatihah, ruku’, I’idal, sujud… Demikian juga Allah berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 97)

ini adalah redaksi perintah untuk menunaikan haji “berupa redaksi berita dalam makna tuntutan”, kemudian terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara menunaikan perintah berhaji itu…

Jenis kedua, dinyatakan redaksi perintah yang bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan tata cara menunaikannya. Artinya tanpa penjelasan langkah-langkah praktis untuk menunaikannya.

Misalnya sabda Rasulullah saw:

«مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ [أخرجه البخاري]

Siapa saja yang melakukan salaf pada sesuatu hendaklah dalam takaran dan timbangan tertentu sampai jangka waktu tertentu (HR Bukhari)

Di sini terdapat perintah melakukan jual beli salam “salaf” dengan redaksi kalimat syarat. Beliau memerintahkan agar jual beli salam itu dilakukan pada takaran, timbangan, dan jangka waktu tertentu. Akan tetapi asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara langkah-angkah pelaksanaannya, seperti dua orang yang berakad hendaknya duduk berhadapan, dan membaca sesuatu dari al-Quran, kemudian melangkah ke depan, saling memeluk satu sama lain, kemudian saling menyeru dalam masalah jual beli salam … dan setelah itu baru dilakukan ijab dan qabul…

Contoh lain, sabda Rasulullah saw:

« الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ » [البخاري ومسلم]

Emas dengan emas adalah riba kecuali tunai (HR Muslim)

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ»[البخاري ومسم]

Emas dengan emas harus sama, dirham dengan dirham harus sama (HR Bukhari dan Muslim)

Ini merupakan perintah “redaksi berita dalam makna tuntutan”. Akan tetapi tidak dijelaskan tata cara langkah-langkah praktis untuk pertukran itu seperti yang kami sebutkan sebelumnya.

Contoh lainnya, telah sahih bahwa Rasul saw telah memerintahkan untuk berdiri ketika ada jenazah yang lewat. Akan tetapi Beliau tidak menjelaskan tata cara langkah-langkah praktis berdiri itu seperti yang kami jelaskan pada contoh pertama.

Begitulah, jadi terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ dan bersamanya dinyatakan pula langkah-langkah praktis untuk menunaikannya. Dan juga terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan secara mutlak atau secara umum tanpa disertai langkah-langkah praktis terperinci tata cara menunaikannya.

Penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang untuknya dinyatakan tata cara penunaiannya secara istilah disebut bid’ah, karena dilakukan tidak menurut tata cara yang telah dijelaskan oleh asy-Syâri’.

Jadi bid’ah secara bahasa seperti dinyatakan di dalam Lisân al-‘Arab: orang yang mengada-adakan (al-mubtadi’) adalah orang yang mendatangkan suatu perkara yang belum pernah ada contohnya… Mengada-adakan sesuatu (abda’at asy-syay’a): membuatnya tidak berdasarkan contoh sebelumnya.

Dan bid’ah secara istilah demikian pula, yaitu penyimpangan tata cara syar’i yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan suatu perintah syar’i. Dan ini adalah makna yang ditunjukkan oleh hadis berikut.

« وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ » [البخاري ومسلم]

Siapa saja yang melakukan satu perbuatan yang tidak ada ketentuan kami tentangnya maka tertolak (HR Bukhari dan Muslim)

Begitulah, jika orang bersujud tiga kali di dalam shalatnya, bukannya dua kali saja, maka itu bid’ah. Siapa saja yang melempar jumrah di Mina sebanyak delapan lemparan bukannya tujuh lemparan maka ia telah melakukan bid’ah… Dan semua bid’ah merupakan kesesatan, dan setiap kesesatan di dalam neraka, yaitu bahwa dia berdosa karena perbuatannya itu.

Menyalahi perintah syara’ yang tidak memiliki tata cara tertentu, maka itu masuk di dalam cakupan hukum-hukum syara’. Jadi dikatakan ia haram, atau makruh, atau mubah jika berupa seruan taklif (khithâb at-taklîf). Atau dikatakan batil atau fasid … jika berupa seruan wadh’i (khithâb al-Wadh’i). Hal itu sesuai indikasi (qarinah) yang menyertai perintah tersebut dari sisi tegas, penguatan atau pilihan.

Pada contoh kami yang pertama, siapa yang melakukan salaf “yaitu mengakadkan akad salam” dengan menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tanpa takaran, timbangan dan tempo tertentu, maka tidak dikatakan bahwa dia melakukan bid’ah. Melainkan dikatakan bahwa akad yang menyalahi perintah asy-Syâri’ tersebut adalah batil atau fasid sesuai jenis penyimpangannya.

Pada contoh kedua, jika menyalahi perintah asy-Syâri’ “emas dengan emas kontan dan sama”, yaitu seandainya seorang laki-laki mempertukarkan emas dengan emas dengan cara menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tidak sama dan tidak kontan, maka tidak dikatakan bahwa ia mendatangkan bid’ah karena menyalahi perintah tersebut. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman dengan melakukan muamalah ribawi.

Juga menyalahi perintah berdiri ketika ada jenazah lewat dan ia tetap duduk, tidak dikatakan bahwa itu bid’ah. Tetapi dikatakan bahwa itu adalah mubah karena nash-nash syara’ menyatakan dua kondisi. Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:

«قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَعَدَ» [مسلم]

Rasulullah saw berdiri kemudian Beliau duduk (HR Muslim)

Begitu pula terkait penyimpangan perintah asy-Syâri’:

«فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ» [البخاري]

Pilihlah yang memiliki kebaikan agama niscaya engkau akan selamat (HR Bukhari)

Penyimangan terhadap perintah ini tidak dikatakan sebagai bid’ah. Akan tetapi dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan pernikahan dengan wanita yang tidak memiliki kebaikan agama. Hal itu karena tidak dijelaskan langkah-langkah praktis dalam memilih, misalnya apakah orang yang meminang itu berdiri di depan wanita itu, membaca ayat kursi, lalu melangkah ke depan satu langkah dan membaca surat al-Falaq dan an-Nas, kemudian melangkah satu langkah lagi dan membaca basmalah, kemudian mengulurkan tangan kanannya dan menyampaikan pinangan…

Demikian juga sabda Rasul saw:

«يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ هَذَا الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ» [أبو داود وأحمد]

Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dihadiri oleh ungkapan berlebihan dan sumpah maka siramlah dengan sedekah (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Sabda itu Beliau sampaikan kepada para pedagang akibat mereka banyak bersumpah. Maka asy-Syâri’ tidak menjelaskan langkah-langkah rinci untuk menunaikan perintah “siramlah”. Atas dasar itu maka tidak dikatakan bahwa siapa yang menjual dan menggunakan sumpah, jika ia tidak jujur, tidak dikatakan bahwa ia telah mendatangkan bid’ah. Melainkan dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan ketidakjujuran pedagang yang mengucapkan sumpah pada saat berjual beli itu.

Begitulah berkaitan dengan penyimpangan perintah-perintah yang asy-Syâri’ tidak mendatangkan tata caranya secara terperinci untuk menunaikannya.

Dengan melakukan elaborasi terhadap nash-nash syara’ didapati bahwa pada sebagian besar ibadah dinyatakan tata cara untuk menunaikan perintah asy-Syâri’ tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’ itu. Karena itu bid’ah tidak terjadi dalam selain ibadah. Karena hanya ibadah sajalah yang di dalamnya dinyatakan langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’.

Kami katakan sebagian besar ibadah, karena sebagian ibadah, tentangnya tidak dinyatakan langkah-langkah praktis implementasinya. Misalnya, jihad. Meski jihad adalah ibadah, namun perintah-perintahnya dinyatakan secara mutlak atau bersiat umum.

قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ

Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu (QS at-Tawbah [9]: 123)

جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS at-Tawbah [9]: 73)

Perintah-perintah tersebut tidak terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Tidak terdapat misalnya tata cara memerangi itu seperti apa, misalnya dengan membaca ayat-ayat, mengirimkan pengintai, melangkah satu langkah ke depan, kemudian bergerak ke kanan … begitulah. Karena itu, siapa saja yang tidak berjihad pada waktu yang ditetapkan untuk berjihad, tidak dikatakan ia mendatangkan bid’ah. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman karena tidak turut berjihad.

Ringkasnya bahwa penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang asy-Syâri’ jelaskan tata cara penunaiannya, maka penyimpangan itu merupakan bid’ah. Sedangkan penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang bersifat mutlak atau bersifat umum, yang asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara penunaiannya maka penyimpangan itu terjadi pada hukum syara’ “taklif –haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy –batil, fasad”.

Dan karena dengan melakukan elaborasi ditemukan bahwa kebanyakan ibadah di dalamnya dinyatakan tata cara penunaiannya, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalam ibadah masuk dalam kategori bid’ah.

Sedangkan dalil-dalil mumalah atau jihad… maka dinyatakan secara mutlak atau umum, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalamnya masuk dalam bab hukum syara’ “taklif: haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy: batil, fasad”.

18 September 2009

read more

Rabu, 21 Juli 2010

Demi Dunia yang Murah

Rabu, 21 Juli 2010
0 komentar
Suatu hari, setelah seharian berkeliling, Nasrudin Hoja pulang ke rumah. Saat istrinya membukakan pintu, ia segera masuk. Didapatinya ada sepo-tong keju di atas piring di meja makan. Ia langsung menghampiri dan menyantapnya seraya berkata kepada istrinya, “Keju itu bagus untuk kesehatan perut.” Istrinya tak berkomentar.
Esoknya, setelah seharian pergi, Nasrudin kembali pulang ke rumah. Ia berharap ada lagi keju di meja makan. Namun, ia tak menemukannya. Ia lalu menemui istrinya dan bertanya, “Kok tidak ada keju lagi?”
“Memangnya kenapa?” jawab istrinya. “Tidak apa-apa, sih. Lagipula keju tidak bagus untuk kesehatan gigi.”
“Jadi yang benar yang mana? Keju itu bagus untuk kesehatan perut atau tidak bagus untuk kesehatan gigi?” tanya istrinya.
“Tergantung,” jawab Nasruddin, “kejunya ada atau tidak…?”
00-caringWEBPembaca yang budiman, penulis tidak bermaksud membuat lelucon dengan mencatut cerita fiktif di atas. Penulis hanya ingin mengajak pembaca merenung, betapa bersilat lidah saat ini sudah dianggap hal biasa, bukan sesuatu yang tabu, apalagi dianggap aib dan dosa.
Lihatlah para elit politik kita. Hari ini bicara A, besok bicara B. Isuk dele sore tempe (pagi kedelai sore tempe). Demikian kata orang Jawa. Persis seperti kelakukan Nasrudin di atas. Tidak aneh jika kemudian ada yang hari ini menjelek-jelekkan tokoh A, esoknya sudah memuji-muji yang bersangkutan. Hari ini berseberangan, esoknya sudah saling bergandengan tangan. Hari ini ngambek, esoknya sudah saling berpelukan.
Siapapun bisa menilai, semua itu bukan berangkat dari sebuah ketulusan, tetapi semata-mata karena kepentingan. Mereka hakikatnya sedang mempraktik-kan adagium politik sekular yang kotor, ”Tidak ada kawan atau musuh abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi.”
Ironisnya, hal ini juga dipratikkan secara sempurna oleh para tokoh dan parpol Islam. Demi kepentingan kekuasa-an, apapun dilakukan. Tak ada lagi rasa malu dan sungkan. Tak ada lagi rasa bersalah dan takut dosa. Urusan halal-haram tak lagi menjadi ukuran. Urusan syariah tak lagi dipandang relevan. Urusan dakwah pun bisa dikompromikan.
Demikianlah kalau manusia sudah diharu-biru hawa nafsu, diperdaya harta, dan diperbudak syahwat kekuasaan. Semua itu berpangkal pada kecintaan manusia terhadap dunia. Padahal andai saja setiap diri sejenak mau berhitung: berapa sih harga dunia? Asal tahu saja, meski seluruh isi dunia kita miliki, itu tak ada nilainya di sisi Allah SWT. Sabda Nabi saw.:
Seandainya dunia ini sebanding harganya dengan sayap seekor lalat saja, niscaya Allah tidak akan membiarkan seorang kafir pun untuk meminum air dari dunia ini barang seteguk pun (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Baginda Nabi saw.pun bersabda:
Dunia ini terkutuk dan terkutuk pula semua yang ada di dalamnya, kecuali mereka yang senantiasa mengingat Allah SWT (HR Ibn Majah dan ad-Darimi).
Sayang, Allah tampaknya sudah tidak lagi mereka ingat, kecuali di dalam shalat. Para elite politik, khususnya para tokoh Islam, seolah tidak pernah belajar meneladani generasi salafush-shalih dulu, yang tidak pernah silau oleh gemerlap dunia, harta dan kekuasaan. Jangankan bermimpi untuk menjadi penguasa atau bernafsu mengejar kekuasaan. Bahkan ditawari jabatan pun sering tak mereka hiraukan.
Imam Syafii, misalnya, ketika ditawari suatu jabatan, ia menolaknya. Demikian pula Imam Ahmad. Saat beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman Bani Umayah yang terakhir, beliau pun enggan menerimanya. Pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur, saat beliau diminta kembali untuk menjadi hakim, beliau tetap menolaknya. Semua itu mereka lakukan bukan karena kekuasaan itu haram, tetapi semata-mata karena mereka khawatir akan Hari Pertanggungjawaban.
Karena tak pernah berambisi atas kekuasaan, tidak aneh jika generasi salafush-shalih seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad adalah generasi yang tak pernah plin-plan. Mereka selalu istiqamah, apalagi dalam menyatakan kebenaran dan menjalankan dakwah. Sebab, mereka memang tak pernah terbebani oleh kekhawatiran akan risiko hilang kesempatan meraih jabatan atau kekuasaan.
Mereka tidak sebagaimana para tokoh saat ini, yang bertindak mencla-mencle karena khawatir tidak kebagian kue kekuasan. Lalu, agar tidak terkesan mencla-mencle, mereka sibuk berdalih dan bersilat lidah. Mereka tak risih kalaupun harus menjilat ludah yang sudah tertumpah. Ironisnya, semua itu mereka lakukan hanya demi meraih dunia yang sangat murah!
Pengokoh Nafsiyah Islam,

read more

Metode Menghafal Quran

0 komentar

Pendahuluan


Ada 3 prinsip (Three P) yang harus difungsikan oleh ikhwan/akhwat kapan dan dimana saja berada sebagai sarana pendukung keberhasilan dalam menghafal al qur’an. 3P (Three P) tersebut adalah:


1. Persiapan (Isti’dad)


Kewajiban utama penghafal al-qur’an adalah ia harus menghafalkan setiap harinya minimal satu halaman dengan tepat dan benar dengan memilih waktu yang tepat untuk menghafal seperti:

a. Sebelum tidur malam lakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan menghafal satu halaman secara grambyangan (jangan langsung dihafal secara mendalam).

b. Setelah bangun tidur hafalkan satu halaman tersebut dengan hafalan yang mendalam dengan tenang lagi konsentrasi

c. Ulangi terus hafalan tersebut (satu halaman) sampai benar-benar hafal diluar kepala


2. Pengesahan (Tashih/setor)


Setelah dilakukan persiapan secara matang dengan selalu mengingat-ingat satu halaman tersebut, berikutnya tashihkan (setorkan) hafalan antum kepada ustad/ustadzah. Setiap kesalahan yang telah ditunjukkan oleh ustad, hendaknya penghafal melakukan hal-hal berikut:

a. Memberi tanda kesalahan dengan mencatatnya (dibawah atau diatas huruf yang lupa)

b. Mengulang kesalahan sampai dianggap benar uoleh ustad.

c. Bersabar untuk tidak menambah materi dan hafalan baru kecuali materi dan hafalan lama benar-benar sudah dikuasai dan disahkan


3. Pengulangan (Muroja’ah/Penjagaan)


Setelah setor jangan meninggalkan tempat (majlis) untuk pulang sebelum hafalan yang telah disetorkan diulang beberapa kali terlebih dahulu (sesuai dengan anjuran ustad/ustadzah) sampai ustad benar-benar mengijinkannya


II. Syarat Utama Untuk Memudahkan Hafalan



1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah.

2. Berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan menjadi hamba-hamba pilihanNya yang menjaga al-qur’an.

3. Istiqomah sampai ajal musamma.

4. Menguasai bacaan al-qur’an dengan benar (tajwid dan makharij al huruf).

5. Adanya seorang pembimbing dari ustad/ustadzah (al-hafidz/al-hafidzah).

6. Minimal sudah pernah khatam al-qur’an 20 kali (dengan membaca setiap ayat 5 kali).

7. Gunakan satu jenis mushaf al-qur’an (al-qur’an pojok).

8. Menggunakan pensil/bolpen/stabilo sebagai pembantu.

9. Memahami ayat yang akan dihafal


III. Macam-macam Metode Menghafal



A. Sistem Fardhi


Ikuti langkah ini dengan tartib (urut):

1. Tenang dan tersenyumlah, jangan tegang.

2. Bacalah ayat yang akan dihafal hingga terbayang dengan jelas kedalam pikiran dan hati.

3. Hafalkan ayat tersebut dengan menghafalkan bentuk tulisan huruf-huruf dan tempat-tempatnya.

4. Setelah itu pejamkan kedua mata dan.

5. Bacalah dengan suara pelan lagi konsentrasi (posisi mata tetap terpejam dan santai).

6. Kemudian baca ayat tersebut dengan suara keras (posisimata tetap terpejam dan jangan tergesa-gesa).

7. Ulangi sampai 3x atau sampai benar-benar hafal.

8. Beri tanda pada kalimat yang dianggap sulit dan bermasalah (garis bawah/distabilo).

9. Jangan pindah kepada hafalan baru sebelum hafalan lama sudah menjadi kuat.


Penggabungan ayat-ayat yang sudah dihafal

Setelah anda hafal ayat pertama dan kedua jangan pindah kepada ayat ketiga akan tetapi harus digabungkan terlebih dahulu antara keduanya dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

1. Bacalah ayat pertama dan kedua sekaligus dengan suara pelan lagi konsentrasi.

2. Kemudian bacalah keduanya dengan suara keras lagi konsentrasi dan tenang.

3. Ulangi kedua ayat tersebut minimal 3x sehingga hafalan benar-benar kuat.

Begitulah seterusnya, pada tiap-iap dua tambahan ayat baru harus digabungkan dengan ayat sebelumnya sehingga terjadi kesinambungan hafalan.

4. Mengulang dari ayat belakang ke depan. Dan dari depan ke belakang.

5. Semuanya dibaca dengan suara hati terlebih dahulu kemudian dengan suara keras (mata dalam keadaan tertutup).

6. Begitu seterusnya. Setiap mendapatkan hafalan baru, harus digabungkan dengan ayat/halaman/juz sebelumya.


B. Sistem Jama’i.


Sistem ini menggunakan metode baca bersama, yaitu dua/tiga orang (partnernya) membaca hafalan bersama-sama secara jahri (keras) dengan:

a. Bersama-sama baca keras.

b. Bergantian membaca ayat-an dengan jahri. Keika partnernya membaca jahr dia harus membaca khafi (pelan) begitulah seterusnya dengan gantian.
Sistem ini dalam satu majlis diikuti oleh maksimal 12 peserta, dan minimal 2 peserta. Settingannya sebagai berikut:

a. Persiapan:

1. Peserta mengambil tempat duduk mengitari ustad/ustadzah.

2. Ustad/ustadzah menetapkan partner bagi masing-masing peserta.

3. Masing-masing pasangan menghafalkan bersama partnernya sayat baru dan lama sesuai dengan instruksi ustad/ustadzah.

4. Setiap pasangan maju bergiliran menghadap ustad/ustadzah untuk setor halaman baru dan muroja’ah hafalan lama.

b. Setoran ke ustad/ ustadzah:

1. Muroja’ah: 5 halaman dibaca dengan sistem syst-an (sistem gantian). Muroja’ah dimulai dari halaman belakang (halaman baru) kearah halaman lama.

2. Setor hafalan baru:

a. Membaca seluruh ayat-ayat yang baru dihafal secara bersama-sama.

b. Bergiliran baca (ayatan) dengan dua putaran. Putaran pertama dimulai dari yang duduk disebelah kanan dan putaran kedua dimulai dari sebelah kiri.

c. Membaca bersama-sama lagi, hafalan baru yang telah dibaca secara bergantian tadi.

3. Muroja’ah tes juz 1, dengan sistem acakan (2-3x soal). Dibaca bergiliran oleh masing-masing pasangan. Ketika peserta sendirian tidak punya partner, atau partnernya sedang berhalangan
hadir, maka ustad wajib menggabungkannya dengan kelompok lain yang kebetulan juz,
halaman dan urutannya sama, jika hafalannya tidak sama dengan kelompok lain maka ustad hendaknya menunjuk salah seorang peserta yang berkemampuan untuk suka rela menemani.

c. Muroja’ah ditempat:

1. Kembali ketempat semula.

2. Mengulang bersama-sama seluruh bacaan yang disetorkan baik muroja’ah maupun hafalan baru, dengan sistem yang sama dengan setoran.

3. Menambah hafalan baru bersama-sama untuk disetorkan pada pertemuan berikutnya.

4. Jangan tinggalkan majlis sebelum mendapat izin ustad/ustadzah.


IV. Keistimewaan sistem jama’i


1. Cepat menguasai bacaan al-qur’an dengan benar.

2. Menghilangkan perasaan grogi dan tidak PD ketika baca al-qur’an didepan orang lain.

3. Melatih diri agar tidak gampang tergesa-gesa dalam membaca.

4. Mengurangi beban berat menghafal al-qur’an.

5. Melatih untuk menjadi guru dan murid yang baik.

6. Menguatkan hafalan lama dan baru.

7. Semangat muroja’ah dan menambah hafalan baru.

8. Meringankan beban ustad.

9. Kesibukannya selalu termotivasi dengan al-qur’an.

10. Mampu berda’wah dengan hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah.

11. Siap untuk dites dengan sistem acakan.

12. Siap menjadi hamba-hamba Allah yang berlomba menuju kebaikan.


V. Jaminan


1. Hafalan al-qur’an lanyah dan lancar dalam masa tempo yang sesingkat-singkatnya. (perlu bukti, admin imm).

2. Sukses dan bahagia di dunia dan akhirat.

3. Pilihan Allah dan memperoleh surga ‘adn diakhirat nanti (surah fatir:23-24)


VI. Metode Muroja’ah (Pengulangan dan penjagaan fardhi atau jama’i)


Ayat-ayat al-qur’an hanya akan tetap bersemayam didalam hati utu al-‘ilm jika ayat-ayat yang dihafal selalu diingat, diulang dan dimuroja’ah.

Berikut ini cara muroja’ah:

1. Setelah hafal setengah juz/satu juz, harus mampu membaca sendiri didepan ustad/ustadzah dan penampilan.

2. Setiap hari membaca dengan suara pelan 2 juz. Membaca dengan suara keras (tartil) minimal 2 juz setiap hari.

3. Simakkan minimal setengah juz setiap hari kepada teman/murid/jama’ah/istri/
suami dst.

4. Ketika lupa dalam muroja’ah maka lakukan berikut ini:

• Jangan langsung melihat mushaf, tapi usahakan mengingat-ingat terlebih dahulu.

• Ketika tidak lagi mampu mengingat-ingat, maka silahkan melihat mushaf
dan,

• Catat penyebab kesalahan. Jika kesalahan terletak karena lupa maka berilah tanda garis bawah. Jika kesalahan terletak karena faktor ayat mutasyabihat (serupa dengan ayat lain) maka tulislah nama surat/no./juz ayat yang serupa itu di halaman pinggir (hasyiyah).

sumber : muntadaquran.net

read more

Jumat, 16 Juli 2010

KHILAFAH : SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM SOLUSI UNTUK DEMOKRASI YANG KUFUR DAN BERBAHAYA

Jumat, 16 Juli 2010
0 komentar

KH. M. Shiddiq al-Jawi**
Pendahuluan

Demokrasi, harus diakui merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak dianut di dunia. Sejak Perang Dunia II hampir seluruh negara di dunia mengadopsi sistem demokrasi. Riset UNESCO tahun 1949 menyimpulkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi diklaim sebagai sistem paling ideal dari semua sistem politik dan sosial yang ada. (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 50).
Namun demokrasi tetap patut dicurigai. Karena dalam Islam ada suatu keyakinan bahwa yang dianut orang banyak itu belum tentu benar, bahkan dapat menyesatkan. Firman Allah SWT (artinya) : "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS Al-Anaam : 116).
Menurut kami, demokrasi adalah sistem kufur yang berbahaya. Dikatakan sistem kufur, karena secara normatif bertentangan dengan Aqidah Islam. Dan dikatakan berbahaya, karena secara empiris terbukti menimbulkan banyak bahaya (dharar) bagi umat Islam.
Maka sistem demokrasi harus dihapuskan dari muka bumi dan diganti dengan sistem Khilafah yang lahir dari Aqidah Islam yang akan menghapuskan berbagai bahaya yang ditimbulkan oleh demokrasi. Inilah inti makalah kami.

Demokrasi Kufur dan Berbahaya

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diklaim berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Umat Islam kadang terkecoh dengan klaim ini, seakan substansi demokrasi hanya kerakyatan (rakyat sebagai sumber kekuasaan). Padahal di samping itu, substansi demokrasi yang jauh lebih mendasar adalah ide kedaulatan di tangan rakyat (as-siyadah li al-syabi; sovereignty belongs to the people). (Al-Jawi, Must Islam Accept Democracy?, dalam David Bourchier & Vedi R. Hadiz, Indonesia Politics and Society : A Reader, hal.208).
Kedaulatan di tangan rakyat berarti hak membuat hukum ada di tangan manusia. Ini jelas bertentangan dengan Aqidah Islam yang menetapkan hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum. Firman Allah SWT (artinya) : "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS Al-Anaam : 57).

Sedang ide kerakyatan, yang berarti rakyat sebagai sumber kekuasaan (mashdar al-sulthat, source of power), memang ada kemiripan dengan Islam meski tetap ada perbedaan yang mendasar. Kemiripannya terletak pada prinsip bahwa rakyatlah yang memilih pemimpinnya. Perbedaannya, dalam demokrasi, pemimpin yang dipilih rakyat akan menjalankan hukum buatan rakyat. Sedang dalam Islam, pemimpin yang dipilih rakyat akan menjalankan hukum Syariat, buatan hukum buatan rakyat.
Maka, jelaslah bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan kufur, yang haram untuk diadopsi, diterapkan, dan dipropagandakan oleh umat Islam (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, hal. 22). Dikatakan kufur bukan karena prinsip kerakyatannya, melainkan karena prinsip kedaulatannya yang diserahkan kepada rakyat.
Dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan syariat (as-Siyadah li al-Syabi; sovereignty belongs to the Sharia). Artinya, dalam Islam manusia tidak berhak membuat hukum sendiri, melainkan hanya menjalankan Syariah Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 17).
Ketika kami menegaskan demokrasi sistem kufur, bukan berarti kami mengkafirkan orang-orang Islam yang terlibat dalam sistem demokrasi. Sebab kekufuran yang dimaksud adalah kekufuran sistem, yaitu kekufuran berbagai peraturan yang ada. Bukan kekufuran manusianya. Adapun kekufuran manusianya, hal itu bergantung pada keyakinan masing-masing yang jelas tidak dapat dipukul rata. Jika seorang muslim yang terlibat demokrasi meyakini bahwa hanya manusia yang berhak membuat hukum, sedang Allah SWT tidak berhak, maka jelas dia telah kafir (murtad), karena keyakinan itu bertentangan dengan nash qathi (pasti), yaitu ayat (artinya) : "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS Al-Anaam : 57). Namun jika ia masih berkeyakinan bahwa hanya Allah SWT yang berhak membuat hukum, sedang manusia tidak berhak, maka dia masih muslim, meski berdosa besar. (Hizbut Tahrir, Al-Hamlah Al-Amirikah lil Qadha` Ala Al-Islam, hal. 7).
Kekufuran sistem demokrasi inilah yang menjadi sumber segala kemunkaran dalam berbagai aspek kehidupan. Sebab kekufuran adalah kemunkaran yang terbesar, yang tidak ada lagi kemunkaran yang lebih besar lagi daripada itu. Maka dengan sendirinya, demokrasi secara pasti akan melahirkan berbagai bahaya (dharar), khususnya yang lahir dari ide kebebasan (al-hurriyat, liberalisme) yang menjadi prasyarat demokrasi.
Kebebasan itulah yang telah melahirkan 4 (empat) macam bahaya, mengikuti jenis-jenis kebebasan dalam demokrasi. Pertama, bahaya karena kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), misalnya pembiaran kemurtadan (Kristenisasi), pembiaran aliran sesat seperti Ahmadiyah, dan sebagainya. Kedua, bahaya karena kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), seperti adanya kelompok liberal (JIL) dan sebagainya. Ketiga, bahaya karena kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), yaitu adanya liberalisasi dalam bidang ekonomi, seperti privatisasi, pasar bebas, dan lain-lain. Keempat, bahaya karena kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhsiyyah), seperti pembiaran zina (pasal 284 KUHP), pembiaran internet tanpa regulasi yang menjadi sarana pornografi, merebaknya video porno, dan sebagainya.
Berbagai bahaya akibat kebebasan demokrasi itu jelas wajib untuk dihilangkan. Dan caranya jelas bukan hanya dengan memerangi ide kebebasan itu, melainkan juga dengan menghapuskan sistem demokrasi yang menjadi akar dan sumber kebebasan.
Walhasil, menghapuskan demokrasi itu wajib hukumnya, untuk menghilangkan berbagai dharar (bahaya) yang muncul darinya. Kaidah fiqih menyebutkan : Adh-Dharar Yuzaalu Syaran (Segala bahaya wajib hukumnya secara syari untuk dihilangkan). (Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-Kaidah Fikih, hal. 52).

Khilafah Solusi untuk Demokrasi

Kalau demokrasi sepakat kita hapuskan, lalu apa gantinya? Jelas, gantinya adalah Khilafah, yaitu sistem pemerintahan Islam yang misinya adalah menjalankan Syariah Islam secara kaffah (dalam segala aspek kehidupan) dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Khilafah atau Imamah, hukumnya wajib, dan kewajibannya merupakan perkara yang disepakati oleh seluruh ulama. Tak ada yang mengingkarinya, kecuali segelintir orang yang tiada teranggap pendapatnya. Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri menegaskan,"Telah sepakat para imam (Imam Malik, Abu Hanifah, Syafii, Ahmad) rahimahumullahbahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu" (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Al-Mazhahib Al-Arbaah, IV/416).
Khilafah mempunyai 4 (empat) prinsip (qawaid) yang khas yang membedakannya dengan sistem pemerintahan lainnya, seperti demokrasi dan monarki. Keempat prinsip itu sekaligus juga merupakan rukun pemerintahan Islam yang jika salah satunya tidak ada, berarti pemerintahan yang ada bukan lagi pemerintahan Islam. (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 40).
Keempat prinsip tersebut adalah :
Pertama,kedaulatan di tangan Syariah, bukan di tangan rakyat. Artinya seluruh aspek kehidupan hanya diatur dengan Syariah Islam, sebagai wujud dari perintah dan larangan Allah. Ini beda dengan demokrasi, yang menyerahkan hak membuat hukum kepada manusia.
Kedua,kekuasaan di tangan umat. Artinya umatlah yang berhak memilih Khalifah yang akan memimpin mereka. Ini beda dengan monarki, yang menjadikan kekuasaan hanya milik keluarga tertentu.
Ketiga,kesatuan Khilafah, artinya di seluruh dunia hanya boleh ada satu Khalifah untuk seluruh umat Islam, tidak boleh lebih. Ini beda dengan konsep negara-bangsa dalam demokrasi yang memberikan hak kepada setiap bangsa untuk mendirikan negara sendiri.
Keempat,hak legislasi UU hanya di tangan Khalifah. Artinya dalam Khilafah hanya Khalifah sebagai kepala negara yang berhak memilih dan mengadopsi hukum syara untuk diberlakukan sebagai UU bagi publik. Ini beda dengan demokrasi yang memberikan hak legislasi kepada wakil rakyat (lembaga legislatif) untuk membuat hukum sendiri yang tidak bersumber dari wahyu. (Lihat Mahmud Abdul Majid al-Khalidi, Qawaid Nizham al-Hukm fi Al-Islam, Kuwait : Darul Buhuts Al-Ilmiyah, 1980).
Sistem Khilafah ini akan menghapuskan kebebasan (al-hurriyat) dalam demokrasi yang menjadi sumber kemunkaran.
Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian tidak adanya keterikatan dengan suatu aturan agama apa pun pada saat dilakukannya suatu perbuatan (adamu taqayyud bi syai`in inda al-qiyam bi al-amal). Yang ada dalam Islam justru adalah keterikatan pada hukum Allah (at-taqayyud bi al-hukm al-syari). Sebab setiap amal perbuatan muslim wajib terikat dengan hukum-hukum Allah dan tidak halal seorang muslim melakukan perbuatan, kecuali sesuai dengan hukum-hukum Allah. Sabda Nabi SAW (artinya),"Barangsiapa melakukan suatu perbuatan tidak sesuai dengan tuntunan kami, maka perbuatan itu tertolak." (HR Muslim). (Abdul Qadim Zallum, Kaifa Hudimat al-Khilafah, hal. 67).
Dengan demikian, Khilafah akan menghilangkan berbagai bahaya (dharar) yang ditimbulkan demokrasi, khususnya yang muncul dari ide kebebasan. Khilafah akan menghapuskan kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), sehingga tak ada lagi pembiaran kemurtadan (Kristenisasi), aliran sesat seperti Ahmadiyah, dan sebagainya. Khilafah akan menghapuskan kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi) yang meneyesatkan umat, sehingga akan hancur kelompok liberal (JIL) dan berbagai kelompok semisalnya. Khilafah akan mencegah kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk) sehingga tak ada lagi liberalisasi dalam bidang ekonomi, seperti privatisasi, pasar bebas, dan lain-lain yang banyak merugikan umat. Khilafah pun akan menghapuskan kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhsiyyah), sehingga tak ada lagi pembiaran zina (KUHP akan dihapus), tak ada lagi pembiaran internet tanpa regulasi, akan dibasmi video porno, dan sebagainya.

Penutup

Demokrasi yang diterapkan di Indonesia dan di negeri-negeri Islam lainnya sesungguhnya adalah sistem kufur dan berbahaya.
Disebut sistem kufur, karena secara normatif amat bertentangan dengan Aqidah Islam yang menetapkan hak membuat hukum hanya di tangan Allah SWT, bukan di tangan manusia. Dan disebut berbahaya, karena secara empiris terbukti menimbulkan banyak bahaya (dharar) bagi umat Islam, khususnya karena ide kebebasan demokrasi.
Maka sistem demokrasi harus dihancurkan dan dihapuskan dari muka bumi dan diganti dengan sistem Khilafah. Inilah sistem pemerintahan Islam yang lahir dari Aqidah Islam yang akan menghilangkan berbagai bahaya akibat demokrasi. Caranya tiada lain adalah dengan menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan. Wallahu alam [ ]
*Disampaikan dalam Seminar Rajab 1431 H / 2010 M dengan tema "Khilafah Solusi Untuk Indonesia dan Dunia", diselenggarakan oleh DPD I Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, di Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta, Sabtu 10 Juli 2010.

read more

Kamis, 08 Juli 2010

Konspirasi Terselubung Zionisme pada World Cup 2010

Kamis, 08 Juli 2010
0 komentar
Sepak bola ternyata kini telah menjadi salah satu alat pengkafiran bagi Dajjal. dalam rencananya untuk membangun suatu dunia baru (New World Order), dia memanfaatkan situasi ini dengan menyisipkan hal-hal yang bersifat simbolis dalam perhelatan akbar sepak bola sejak beberapa tahun lalu, tetapi menjadi semakin jelas di tahun ini.
Simbolis apa yang tersembunyi?
  • Awal mulainya World Cup adalah 6/11/2010 (11 = 6 + 1 + 1 + 2 + 0 + 1 + 0) yang menggambarkan 2 tiang freemason.
  • FIFA memilih Afrika sebagai tuan rumah 18 tahun setelah runtuhnya Apartheid tahun 1992 (18 = 6 + 6 + 6)
  • Bola digambarkan dalam 11 warna yang mewakili 11 bahasa, 11 bangsa. Tetapi 11 juga menggambarkan 2 tiang dalam freemason.
Kita sebagai muslimin tentunya tidak percaya pada hal seperti itu, akan tetapi kode memang digunakan oleh musuh-musuh Allah untuk memberikan isyarat.
Kaitan World Cup dengan Yahudi
World Cup direncanakan berkaitan dengan beberapa hari penting organisasi yahudi Iluminati.
  • Summer Solstice – 13 minggu – saat matahari titik terjauh di utara katulistiwa
  • Juni tanggal 21 – 22 – Summer Solstice
  • Juni tanggal 21 – Litha, salah satu malam pengorbanan/tumbal manusia dari Illuminati
  • Juli tanggal 4 Hari kemerdekaan Amerika 13 hari setelah Litha dan 66 hari dari April tanggal 30
  • Juli tanggal 19 – 13 hari sebelum Lughnasa
  • Juli tanggal 31 – Agustus tanggal 1 – Lughnasa, Great Sabbat Festival. Agustus juga merupakan salah satu malam pengorbanan/tumbal manusia dari Illuminati
Kita sudah mulai melihat bahwa dari simbol-simbol angka di atas, World Cup sangat erat dengan strategi yahudi. Akan tetapi bagaimana hubungannya dengan Dajjal, Sang raja yang dinantikan oleh yahudi?
Bola Jabulani
Nama “JABULANI” berasal dari bahasa asli Zulu, salah satu bahasa resmi sebelas Republik Afrika Selatan, yang dituturkan oleh hampir 25% dari populasi. Secara harfiah diterjemahkan, “JABULANI” berarti “untuk merayakan”. Sepak bola adalah gairah yang menyatukan dunia. Nama dari pertandingan bola baru tepat membayar upeti kepada perayaan fans internasional sepak bola yang penuh gairah akan menikmati di Afrika Selatan musim panas mendatang.
Benarkah demikian?
Ada banyak kecurigaan bahwa Jabulani menyembunyikan kata yang sebenarnya yaitu Jahbulon. Ini mengingat bentuk panel bola Jabulani yang serupa dengan simbol Jahbulon.
Hal ini boleh saja dibantah, akan tetapi mengapa FIFA bersikeras menggunakan bola yang dikatakan tidak enak oleh sebagian besar pemain bola yang pernah mencobanya?
Berikut ini adalah arti Jahbulon dalam perbendaharaan yahudi.
  • Jah berasal dari bahasa Kaldea artinya ‘Tuhan’ dan di dalam bahasa Yahudi berarti ‘kehendak Tuhan yang tidak terbatas kehendak-Nya’. Kata jah menunjukkan kekuatan yang nyata, harapan masa depan, dan sifat abadi (external existence of the most high).
  • Bul berasal dari bahasa Syiria artinya ‘Tuhan yang mutlak disembah karena mempunyai kekuatan dalam segala hal’.
  • On diambil dari kebiasaan masyarakat Mesir kuno, yang artinya ‘bapak kami yang berada di surga’. Sehingga gabungan dari ketiga komponen bahasa tersebut, Jah-bul-on adalah ‘Tuhan yang Mahakuasa dalam segala hal, yang patut disembah karena kekuasaannya tersebut’.
Akan tetapi, ditafsirkan pula bahwa jah artinya ‘Yahweh’. Bul berasal dari ‘baal’ dan on mempunyai makna sama dengan Osiris (dewa Mesir kuno) bapak dari Horus. Jadi, Jahbulon adalah gabungan kata antara: yahweh, baal, dan Osiris yang juga merupakan kekuatan dari Tuhan Jehovah.
Perhatikan gambar yang menghubungkan bola jabulani dengan simbol jahbulon. Suatu kebetulan yang manis. Perhatikan juga simbol Adidas yang jika dirotasi akan menjadi simbol Dajjal. Perhatikan ketepatan perpotongan piramid dengan logo yang ditunjukkan garis horisontal.
Horus dan simbol pada Piala Dunia 2010
Ra adalah matahari dewa Mesir kuno. Oleh Dinasti Kelima dia telah menjadi dewa utama dalam agama Mesir kuno, diidentifikasi terutama dengan matahari tengah hari. Arti nama ini tidak pasti, namun diperkirakan bahwa jika tidak berarti ‘matahari’ itu mungkin merupakan varian dari atau berhubungan dengan kata-kata yang berarti ‘penciptaan’
Pusat pemujaan untuk Ra adalah Heliopolis (disebut Inun, “Tempat Pilar”, di Mesir), di mana ia diidentifikasikan dengan dewa matahari Atum. Melalui Atum, atau sebagai Atum-Ra ia juga dianggap sebagai yang pertama merupakan asal usul Ennead, yang terdiri dari Shu dan Tefnut, Geb dan Nut, Osiris, Set, Isis dan Nephthys.
Di masa dinasti Mesir yang beriutnya, Ra bergabung dengan dewa Horus, sebagai Re-Horakhty (“Ra, Horus dari Dua Horizons”). Dia oleh orang Mesir dipercaya untuk memerintah di semua bagian dunia yang diciptakan baik langit, bumi, dan dunia bawah. Makhluk ini dikaitkan dengan elang atau rajawali. Ketika di kerajaan baru berikutnya Amun menjadi dewa utama, maka ia melebur dengan Ra sebagai Amun-Ra.
Jadi Ra, Horus, dan Amun Ra adalah makhluk yang sama dan tampaknya ia menjadi pusat pemujaan di Piala Dunia 2010.
Perhatikan gambar-gambar berikut ini.
Pada gambar di atas diperlihatkan bagaimana simbol piala dunia dengan Horus/Amun Ra.
Pada Gambar di bawah juga diperlihatkan bahwa Horus, sudah lama ‘ditanamkan’ oleh FIFA dalam piala.
Pembuktian hubungan antara simbol Horus/Ra dan bentuk stadion yang menggambarkan matahari adalah dilihat dari bentuk stadiun yang menyerupai Calabash dilihat dari samping menguatkan adanya ritual magis.
Ra dan Mata Horus dan Dajjal
Dajjal dikatakan dalam banyak hadits nabi sebagai bermata satu. Dajjal sendiri memang menggunakan simbol mata Horus dan mengubahnya menjadi simbol mata di atas piramid.
Semoga Tuhan melindungi kita dan mengampuni dosa-dosa kita semua.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: 
“Rasulullah saw. bersabda: Inginkah kamu sekalian aku beritahukan tentang Dajjal, suatu keterangan yang belum pernah diceritakan seorang nabi kepada kaumnya? Sesungguhnya ia buta sebelah mata (bermata satu), ia datang dengan membawa sesuatu seperti surga dan neraka. Maka apa yang dikatakannya surga adalah neraka dan aku telah memperingatkan kalian terhadapnya sebagaimana Nabi Nuh telah memperingatkan kaumnya.” (Shahih Muslim No.5227)
sumber : un2kmu.wordpress.com


read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Follow me in the Fb

Followers

Page Range

Mutiara Kata

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)